Posted by: tsdipura | June 13, 2020

Rukun-rukun Mandi

بسم الله الرحمن الرحيم

Matan Safiinah an-Naja terkait rukun-rukun mandi:

  فَصْلٌ:فُرُوْضُ الْغُسْلِ: النِّيَّةُ, وَتَعْمِيْمُ الْبَدَنِ بِالْمَاءِ.

 Rukun-rukun mandi ada dua[1]: niyat[2] dan menyiram seluruh badan dengan air[3].


Catatan Kaki (dari Nail ar-Raja syarh Safiinah an-Naja karya Ahmad bin Umar asy-Syatiri):

[1] [Makna rukun-rukun mandi]

Ahmad asy-Syatiri (dalam Nail ar-Raja syarh Safiinah an-Naja) :”Bahwa rukun mandi, dimana tidak akan tercapai pokok dari mandi, baik mandi wajib maupun sunnah, ada dua (yaitu niyat dan menyiram seluruh badan dengan air) (أَنَّ أَجْزَاءَالْغُسْلِ الَّتِي لَا تَتَحَقَّقَ مَاهِيَتُهُ إِلَّا بِهَا وَاجِبًا كَانَ أَوْمَسْنُوْنًا اِثْنًانِ.).”

[2] [Rukun Pertama: Niyat]

Ahmad asy-Syatiri:”Bahwa rukun mandi yang pertama adalah niyat pada saat menyiram bagian badan pertama ketika mandi (أَنَّ الْأَوَّلَ مِنْ فَرْضِي الْغُسْلِ: نِيَّةٌ عِنْدَ غُسْلِ أَوَّلِ جُزْءٍ مِنْ البَدَنِ).  Maka orang yang junub berniyat:

  • Secara umum bagi semua yang junub bisa dengan niyat untuk menghilangkan junubnya (فَيَنْوِي الْجُنُبُ رَفْعَ الْجَنَابَةِ),
  • orang yang haid bisa dengan niyat menghilangkan hadats haid atau nifas
    • jika yang dimaksud dalam niyat nifas (padahal dia tidak nifas tapi haid) bukanlah makna secara syar’i

(وَالْحَاءِضُ رَفْعَ حَدَثِ الْحَيْضِ أَوْ النِّفَاسِ إِنْ لَمْ تَقْصُدْ بِهِ الْمَعْنَي الشَّرْعِي).

  • Orang yang nifas niyat untuk menghilangkan hadats nifas atau haid.
    • jika yang dimaksud dengan niyat haid (padahal dia tidak haid tapi nifas) bukanlah makna secara syar’i,

(وَالْنفساء رَفْعَ حَدَثِ النِّفَاسِ أَوْالْحَيْضِ إِنْ لَمْ تَقْصُدْ بِهِ الْمَعْنَي الشَّرْعِي)

  • orang yang baru melahirkan niyat untuk menghilangkan hadats dari melahirkan. (وَفِي الْوِلَادَةِ رَفْعَ حَدَثِ الْوِلَادَةِ)”

Dr. Labib Najib Abdullah:”Tentang wanita yang haid lalu mandi dengan niyat menghilangkan hadats nifas atau sebaliknya. Maka hukumnya sebagai berikut:

  1. Bila hal itu terjadi tanpa sengaja maka hukumnya sah.
  2. Bila hal itu terjadi secara sengaja?
    1. Menurut Syamsuddin ar-Ramli hukumnya sah. Karena secara bahasa arab haid dan nifas maknanya bisa sama.
    2. Menurut Ibnu Hajar al-Haitami: (Pendapat inilah yang diambil oleh Ahmad asy-Syatiri dalam Nail ar-Roja diatas).
      1. Sah apabila yang dimaksud oleh wanita itu bukanlah makna syar’i.
      2. Tidak sah apabila yang dimaksud oleh wanita itu adalah makna syar’i.”

[Lebih jauh tentang kaifiyat/cara berniyat]

Ahmad asy-Syatiri: “Cukup juga dengan niyat untuk bersuci dari semua sebab janabah (أَنْ يَنْوِيَ عَنْ كُلٍّ) dengan niyat melakukan mandi wajib (فَرْضَ الْغَسْلَ) atau menghilangkan hadats besar (أو رفع الحدث الأكبر) atau menghilangkan hadats (أَوْ رَفْعَ الْحَدَثِ).

Dan tidak cukup apabila hanya dengan niyat mandi atau niyat thaharah/ bersuci saja (لَا نِيَّةَ الْغُسْلِ وَالطَّهَارَةِ فَقَتْ).

Sedangkan orang yang sakit sehingga terus keluar mani maka ia wajib berniyat ‘dibolehkan beramal’ (istibaahah) dan tidak cukup baginya dengan niyat-niyat yang disebutkan sebelumnya. (وَتَجِبُ عَلَي مَنْ بِهِ سَلَسُ الْمَنِيِّ نِيَّةٌ نَحْوَ الْاِسْتِبَاحَةِ وَلَا تَكْفِيْهِ إِحْدَي النِّيَّاتِ السَّابِقَةِ)”

[3] [ٌRukun Kedua: Menyiram seluruh badan dengan air]

Ahmad asy-Syatiri:”Bahwa rukun kedua dari mandi adalah menyiram seluruh badan dengan air (استعاب جميع البدن بالماء) termasuk kulit (بَشَرًا), kuku (ظُفْرًا), dan rambut baik yang bagian luar atau dalam meskipun rambut tersebut tebal (وَشَعْرًا ظَاهِرًا وَبَاطِنًا وَإِنْ كَثِفَ الشَّعْرُ). Juga apa yang nampak dari hidung yang terpotong (وَمَا ظَهَرَ مِنْ أَنْفٍ مَجْدُوْعٍ), tempat tumbuh rambut/bulu yang rontok (وَمَنْبَتِ شَعْرَةٍ زَالَتٍ), bagian dalam pecahan-pecahan kulit selama belum mencapai bagian daging (وَشُقُوْقٌ لَمْ يَكُنْ لَهَا غَوْرٌ), dan apa yang berada di bawah kulit ujung zakar (وَمَا تَحْتً قُلْفَةِ الْأَقْلَفِ)(yang dipotong dalam khitan, bagi yang belum berkhitan), apa yang tampak dari kemaluan wanita perawan atau bukan perawan ketika duduk untuk membuang hajat (مَا ظَهَرَمِنْ فَرْجِ بِكْرٍأَوْثَيِّبٍ إِذَا قَعَدَتْ لِقَضَاءِ حَاجَتِهَا).

Tidak wajib untuk membasuh bagian dalam kemaluan juga bagian dalam hidung (لَا بَاطِنُ فَرْجٍ وَ أَنْفٍ وعَقْدِ شَعْرٍاِنْعَقَدَ بِنَفْسِهِ), ikatan rambut yang terikat dengan sendirinya.

Wajib mengurai ikatan rambut (kepang rambut) apabila air tidak bisa masuk ke bagian dalamnya. (وَيَجِبُ نَقْضِ الضَّفَاءِرَ إِذَا لَمْ يَصِلْ الْمَاءُ إِلَي بَاطِنِهَا إِلَّا بِهِ)”

[Apa yang disebut badan?]

Ahmad asy-Syatiri: “Badan (البَدَنُ) asalnya secara bahasa adalah apa-apa selain kepala dari tubuh kita (مَا سِوَي الرَّأْسِ). Namun yang dimaksud disini adalah semua bagian tubuh kita (جَمِيْعُ الْجَسَدِ)”

[Sunnah-sunnah Mandi?]

Ahmad asy-Syatiri: “Terdapat banyak sunnah-sunnah wudlu, diantaranya:

  • Berdiri (القِيَامُ),
  • menghadap kiblat (وَاسْتِقْبَالُ الْقِبْلَةِ),
  • berwudlu (وَالْوُضُوْءُ),
  • mengucapkan bismillah (وَالتَّسْمِيَّةُ),
  • memaksimalkan basuhan bagian tubuh yang ada lipatan (agar air benar-benar bisa mengalir ke bagian dalam)(وَتَعَهُّدُالْمَعَاتِفِ).
  • menggosok-gosok bagian badan(وَالدَّلْكُ),
  • mengulang tiga kali dalam menyiram bagian badan (وَالتَّثْلِيْثُ),
  • melakukan secara berurutan yaitu (وَتَرْتِيْبُ أَفْعَالُهُ:)
    • mulai dari membasuh kedua telapak tangan (بِأَنْ يَغْسِلَ الْكَفَّيْنِ),
    • lalu kemaluan dan sekitarnya (ثُمَّ الْفَرْجِ وَمَا حَوَالَيْهِ),
    • lalu berkumur dan istinsyak (memasukkan air ke hidung) (ثُمَّ يَتَمَضْمَضُ وَ يَسْتَنْشِقُ),
    • lalu berwudlu dengan wudlu sempurna dan berniyat mengangkat hadats kecil meskipun tidak dalam keadaan berhadats kecil (ثُمَّ يَتَوَضَّأُ وُضُوْءًا كَامِلًا وَيَنْوِي بِهِ رَفْعَ الْحَدَثِ الْأَصْغَرِوَإِنْ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ),
    • memaksimalkan basuhan bagian tubuh yang ada lipatan (ثُمَّ وَيَتَعَهَّدُالْمَعَاتِفِ).
    • lalu menyiramkan air ke kepala(ثُمَّ يُفِيْضُ الْمَاءَ عَلَي الرَّأْسِ),
    • lalu ke bagian kanan tubuh bagian depan, lalu bagian belakangnya, lalu bagian kiri tubuh depan lalu bagian belakangnya(ثُمَّ عَلَي أَقَبَلِ مِنْ الشِّقِّ الْأَيْمَنِ ثُمَّ مَا أَدْبَرَ مِنْهُ ثُمَّ عَلَي مَا أَقْبَلِ مِنْ الشِّقِّ الْأَيْسَرِ ثُمَّ عَلَي مَا أَدَبَرَ مِنْهُ).”

[Hal-hal yang makruh dalam Mandi dan bagi orang yang junub]

Ahmad asy-Syatiri: “ Hal-hal yang makruh dalam mandi adalah hal-hal yang makruh dalam wudlu. (وَلَهُ مَكْرُوْهَاتٌ هِيَ مَكْرُوْهَاتُ الْوُضُوْءِ)

Sedangkan orang yang junub dimakruhkan untuk tidur, jima’/berhubungan badan, makan, atau minum sebelum wudlu dan membasuh kemaluan. (وَيُكْرُهُ لِلْجُنُبِ النَّوْمُ وَالْجِمَاعُ وَالْأَكْلُ وَالشُّرْبُ قًبْلَ الْوُضُوْءِ وَغَسْلِ الْفَرْجِ)

Khusus bagi wanita yang sudah selesai dari haid dan nifas, hal-hal tadi juga makruh kecuali jima’ atau berhubungan badan yang hukumnya haram.(وَمِثْلُهُ مَنْ اِنْقَطَعَ حَيْضُهَا أَوْ نِفَاسُهَا إِلَّا فِي الْجِمَاعِ فَإِنَّهُ يُحْرَمُ)

Haram hukumnya berjima’ dengan kemaluan yang menjadi najis (مُتَنَجِّس) kecuali memang selalu keluar mani atau ketika air akan melemahkan zakar/kemaluannya.(وَيُحْرَمُ جِمَاعُ مُتَنَجِّسِ الذَّكَرِ إِلَّا إِنْ كَانَ سَلَسًا أَوْ اِعْتَادَ أَنَّ الْمَاءَ يُفَتِّرُ ذَكَرَهُ)

 


Leave a comment

Categories