Posted by: tsdipura | September 6, 2021

Hanya memberi tak harap kembali, hmm…

Masih terkait pelajarai dari hadits ke 31 dalam kumpulan hadits al-Arba’in berikut:

عن أبي العبَّاسِ سَهْلِ بنِ سَعْدٍ الساعديِّ رَضِي اللهُ عَنْهُ قالَ: (جاءَ رَجُلٌ إلى النَّبيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقالَ: يا رسولَ اللهِ، دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ إِذَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِيَ اللهُ وأَحبَّنِيَ النَّاسُ. فَقَالَ:

{ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللهُ، وَازْهَدْ فِيمَا عِنْدَ النَّاسِ يُحِبَّكَ النَّاسُ}.

حديثٌ حَسَنٌ رواهُ ابنُ ماجَه وغيرُهُ بأسانيدَ حَسنةٍ.

Dari Abu al-Abbas Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi radhiyallahu’anhu, ia berkata: ‘Seorang pria datang kepada Rasuululllah shallallahu’alaihiwasallam dan bertanya: ‘Wahai Rasuulallah, tunjukkan kepadaku amalan yang bila aku mengamalkannya maka Allah akan mencintai saya dan manusia juga akan mencintai saya’, maka Rasuulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda:

“Zuhudlah di dunia niscaya Allah akan mencintaimu, dan zuhudlah terhadap apa yang dimiliki manusia, niscaya manusia mencintaimu”

[Hadits hasan shohih diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dan selainnya.]

Khusus terkait dengan bagian kedua dari hadits diatas yaitu ‘zuhud kepada manusia, Ibnu Hajar dalam syarah hadits ini menukilkan riwayat tentang komentar masyarakat Bashrah terhadap ulama yang mereka anggap sebagai Pemimpin Mereka:

قال أعربيٌّ لأهل البصرة: من سيدكم؟قالوا: الحسن, قال: بم سادكم؟قالوا: احتاج الناس إلي علمه, واستغني هو عن دنياهم, فقال: ما أحسن هذا

Seorang arab baduy bertanya kepada penduduk Bashrah: ‘Siapa pemimpin kalian? Mereka menjawab: al-Hasan (yaitu Hasan al-Bashri). Ia kembali bertanya: ‘bagaimana al-Hasan menjadi pemimpin kalian? Mereka menjawab: ‘Manusia butuh terhadap ilmu al-Hasan, tetapi ia sendiri tidak perlu kepada dunia yang dimiliki para penduduk Bashrah‘. Maka orang arab baduy itu berkata: ‘Betapa indahnya hal ini’.

Bagaimana al-Hasan memberikan ilmunya yang diperlukan oleh masyarakat Bashrah, dan sebaliknya masyarakat mendapat kesan bahwa al-Hasan tidak memerlukan harta atau dunia yang dimiliki masyarakat Bashrah…adalah contoh yang diberikan oleh Ibnu Hajar al-Haitami untuk zuhud kepada manusia. Dan hal ini memang terbukti bisa membangkitkan kecintaan manusia kepada Beliau..sebagaimana disebutkan dalam hadits tersebut.

Apa yang digambarkan terkait al-Hasan diatas mengingatkan kita akan semboyan yang mewakili para guru di Indonesia ini ‘hanya memberi tak harap kembali’

Namun apakah kuat seseorang hanya memberi? Tanpa mengaharap balasan? Darimana sumber ‘kekuatan’ nya untuk selalu melakukan kebaikan dan memberi?

Untuk menjawab hal diatas mari kita simak sebuah hadits yang juga dipilihkan oleh Imam Nawawi, kali ini dalam Karya Beliau yang masyhur Riyadhusholihiin Hadits pertama di Bab 252 Beberapa Masalah Terkait Do’a berikut

عن أسامه بن زيد رضيالله عنهما قال: قال رسول الله صلي الله عليه وسلم: من صنع إليه معروف, فقال لفاعله: جزاك الله خيرا, فقد أيلغ في الثياء

Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu’anhuma, ia berkata: ‘Rasuulullah shalallahu’alaihiwasallam bersabda: “Siapa yang diberi kebaikan oleh orang lain, lalu ia mengucapkan pada orang yang melakukan kebaikan itu ‘Jazaakallahu khairan (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan)’, maka ia telah menyempurnakan pujian atau rasa syukur padanya”. [HR Imam Tirmidzi, Ia berkata ini adalah hadits hasan shahih]

Hadits diatas mengajarkan do’a bagi orang yang telah memberi kebaikan kepada kita.

Namun, bagi pihak yang melakukan kebaikan hadits ini memberi pelajaran yang sangat agung bahwa tempat ia mengharapkan balasan dari berikan yang ia berikan adalah Allah, bukan orang yang telah ia beri kebaikan tersebut. Bahkan hal itu diingatkan persis setelah kebaikan itu dilaksanakan, langsung oleh orang yang mungkin awalnya ia berharap balasan darinya.

Dan tarbiyah/pembinaan ilahiyah dari do’a yang diajarkan oleh hadits diatas tentunya sangat tepat, karena Allah lah zat yang Maha Kuat, hanya Allah lah yang dapat membalas semua kebaikan tersebut. Dan menghindarkannya dari kesalahan sekaligus kekecewaan karena berharap kepada makhluk yang lemah.

Hal ini tentu tidak menafikan bahwa ketika Allah memberikan balasan di dunia atas kebaikan seseorang, Allah akan memberikannya melalui makhluk Allah lainnya…bisa jadi orang yang memang td diberi kebaikan oleh orang tersebut atau sangat mungkin melalui jalan yang tidak pernah disangka-sangka oleh pelaku kebaikan tadi. Dan siapapun yang Allah pilih untuk menjadi jalan ‘pembalasan’ kebaikan baginya…maka hadits diatas mengajarkan kita untuk berterimakasih dan mengucapkan lafazh/do’a terbaik baginya.

Harapan atas balasan pada Allah ta’ala diatas adalah sumber kekuatannya untuk berusaha tetap memberi bahkan berusaha sebaik mungkin tanpa peduli siapapun yang bisa ia beri kebaikan, bahkan kepada hewan sekalipun. Karena ia faham ‘transaksi’ yang ia lakukan adalah dengan Allah ta’ala, ‘bayaran’ yang ia idam-idamkan adalah dari Rabbul ‘alaamiin.

Pelajaran dari hadits diatas bisa menjawab pertanyaan kita sebelumnya bahwa manusia tetaplah makhluk pamrih dan memerlukan balasan, namun Islam mengarahkan ia untuk mencari balasan kepada Zat yang memang bisa membalasnya dengan cara terbaik, cakupan memberi dan mengharap balasan baginya tidak berhenti dalam lingkup dunia tapi membentang hingga ke alam akhirat yang kekal.

Pemahaman dari hadits ini yang diantaranya mengantar dia untuk bisa ‘memberi tak harap kembali’ -yaitu dari makhluk-, selalu berusaha memberi bahkan sebisa mungkin yang terbaik dengan tetap zuhud atas apa yang ada disisi manusia sebagaimana dicontohkan oleh al-Hasan dalam kisah kita diatas.

Semoga Allah ta’ala memberi kita taufik dan hidayah-Nya untuk bisa memberi yang terbaik sebagai ‘dagangan’ kita kepada Allah ta’ala yang hanya dari-Nya kita mengharapkan ‘bayaran’, juga bersikap zuhud atas apa yang ada di sisi manusia.

الحمد لله والصلاة والسلام علي رسول الله


Bahasan tentang zuhud terhadap apa yang ada disisi manusia juga atsar ttg al-Hasan diatas adalah bagian dari Kajian Kitab al-Arba’in an-nawawiyah Pekan #34 ttg Hadits #31 khususnya pada bagian berikut:

Posted by: tsdipura | September 5, 2021

Mengejar Cinta Allah dengan Zuhud

Pada hadits ke 31 dalam kumpulan hadits al-Arba’in, Imam Nawawi memilih hadits yang memberi resep ilahi untuk mendapatkan cinta Allah, berikut haditsnya:

عن أبي العبَّاسِ سَهْلِ بنِ سَعْدٍ الساعديِّ رَضِي اللهُ عَنْهُ قالَ: (جاءَ رَجُلٌ إلى النَّبيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقالَ: يا رسولَ اللهِ، دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ إِذَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِيَ اللهُ وأَحبَّنِيَ النَّاسُ. فَقَالَ:

{ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللهُ، وَازْهَدْ فِيمَا عِنْدَ النَّاسِ يُحِبَّكَ النَّاسُ}.

حديثٌ حَسَنٌ رواهُ ابنُ ماجَه وغيرُهُ بأسانيدَ حَسنةٍ.

Dari Abu al-Abbas Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi radhiyallahu’anhu, ia berkata: ‘Seorang pria datang kepada Rasuululllah shallallahu’alaihiwasallam dan bertanya: ‘Wahai Rasulallah, tunjukkan kepadaku amalan yang bila aku mengamalkannya maka Allah akan mencintai saya dan manusia juga akan mencintai saya’, maka Rasuulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda:

“Zuhudlah di dunia niscaya Allah akan mencintaimu, dan zuhudlah terhadap apa yang dimiliki manusia, niscaya manusia mencintaimu”

[Hadits hasan shohih diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dan selainnya.]

Informasi nubuwwah dari hadits ini sangatlah penting bagi kita karena cinta Allah adalah hal terpenting yang kita kejar dan impikan. Maka penting bagi kita untuk memahami Zuhud berusaha melaksanakannya atau sebaliknya menjaga agar kita tidak keluar dari lingkup zuhud.

Imam Nawawi dalam syarah al-Arba’in ketika terhadap hadits diatas menjelaskan makna zuhud berikut

الزهد: ترك ما لا يحتاج إليه من الدنيا،و إن كان حلالاً،و الاقتصار على الكفاية،

والورع: ترك الشبهات

Zuhud adalah meninggalkan apa yang tidak ia perlukan dari dunia, meskipun hal itu halal, dan mencukupkan diri dengan kecukupan. Sedangkan wara’ adalah meninggalkan hal-hal yang syubhat.

Kata kunci penting dari definisi yang diberikan Imam Nawawi terhadap zuhud adalah ‘apa yang tidak ia perlukan’ ( ما لا يحتاج إليه).

Untuk melengkapi maksud dari hal ini, mari kita coba lengkapi dengan penjelasan ulama besar lainnya yaitu Ibnu Hajar al-Haitami ketika juga memberi penjelasan hadits ini dalam karya Beliau Fathul Mubiin dimana kali ini Ibnu Hajar menjelaskan siapa orang yang zuhud. Bila Imam Nawawi menjelaskan apa yang ditinggalkan, Ibnu Hajar melengkapi dengan menjelaskan apa yang diambil dari dunia:

فالزاهد: المستصغر لمحتقر للدنيا, فلا يفرح بسيئٍ منها, ولا يحزن علي فقده, ولا يأخذ منها إلا ما يعينه علي طاعةريه, أو ما أمر بأخذه. مع دوام الذكر والمراقبة والنفكر في الاخرة.

Orang yang zuhud adalah orang yang mengecilkan dan menghinakan dunia, sehingga ia tidak gembira dan bangga dengan dunia juga tidak sedih dengan kehilangannya. Ia tidak mengambil dari dunia kecuali hal-hal yang menolongkan untuk ketaatan pada rabbnya. Dengan tetap mengingat, merasa dekat, dan memikirkan akhirat.

Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan sikap mental orang-orang zuhud terhadap dunia dimana dunia tidak membuat mereka bangga ketika memilikinya dan tidak merasa sedih ketika kehilangannya.

Tentang apa yang diambil dari dunia, Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan bahwa apa yang diambil oleh orang-orang zuhud dari dunia adalah hal-hal yang menolongnya dalam ketaatan pada rabbnya atau memang sesuatu yang diperintahkan. Maka terkait penjelasan Imam Nawawi, semua hal yang tidak masuk dalam kriteria yang disebutkan Ibnu Hajar al-Haitami…inilah yang dimaksud oleh Imam Nawawi sebagai apa yang tidak ia perlukan.

Lebih lengkap, tentang apa yang ditinggalkan Ibnu Hajar al-Haitami menuliskan ttg orang-orang zuhud:

وَ تَرْكُ مَا لَا قٌرْبَتَ فِبْهِ

…dan meninggalkan hal-hal bernilai taqarrub (mendekatkan diri pada Allah)

Maka mereka, orang-orang yang zuhud, adalah orang yang memilih hanya yang baik saja dari dunia ini dan meninggalkan yang tidak menolongnya dalam ketaatan.

Ibnu Hajar juga memberikan contoh berikut

أو راحة ندب فعلها كنوم القيلولة, للعستعانة به علي قيام الليل

…atau istirahat yang memang diajarkan seperti tidur siang untuk membantunya melaksanakan qiyamulail/tahajjud.

Dari penjelasan-penjelasan dan contoh diatas, bahkan kita bisa coba menjawab pertanyaan berikut:

‘Apakah telah keluar dari zuhud (sehingga sy kehilangan sebab dicintai Allah) ketika saya memiliki harta yang banyak atau kekuasaan atau hal lain dari dunia?’

insyaAllah jawabnya TIDAK. Seseorang bisa tetap mendapatkan dunia bahkan lebih dari kebanyakan orang, selama semua itu dalam perspektif karunia Allah yang ia gunakan untuk menolongnya dalam ibadah. Dan seperti kita ketahui, konsep ibadah dalam Islam sangatlah umum.

Lebih jauh, bila dalam contoh diatas Ibnu Hajar al-Haitami mencontohkan disunnahkannya tidur siang untuk membantu mengamalkan sebuah ibadah yaitu sholat malam. Maka untuk ibadah lainnya misalnya ingin mendirikan panti asuhan yang mengasuh, mendidik, dan membina anak-anak yatim tidak mengapa (bahkan baik) kita mengumpulkan harta untuk bisa mencapai hal tersebut.

Namun hal diatas tentu perlu dengan warning bahwa dunia itu sangat bisa memperdaya kita, kenikmatan dunia bisa memalingkan dari tujuan utama yang mulia menjadi tujuan yang hanya berujung pada dunia.

Untuk itu, Imam Nawawi menukil perkataan Imam Syafi’i berikut tentang dunia yang kita dapatkan

إذا فرح بها لأجل المباهاة والتفاخر والتطاول علي الناس فهو مذموم, ومن فرح بها لكونه من فضل الله عليه فهو محمود

Jika ia senang dan bangga dengan dunia semata karena bermegah-megahan, dan sombong terhadap manusia maka hal itu tercela. (Namun) siapa yang gembira dan bangga dengan dunia karena hal itu merupakan fadhilah/karunia dari Allah ta’ala maka hal itu terpuji

Semoga Allah ta’ala memberi kita taufiq dan hidayah untuk bisa menjadi orang-orang yang zuhud di dunia…

Alhamdulillah wassholaatu wassalaam ‘ala rasuulillah.


Makna zuhud dari hadits #31 diatas menjadi tema utama Kajian Jum’at Malam Pekan #34, 3 September 2021 berikut:

Posted by: tsdipura | September 1, 2021

Lesson learn istilah fardhu dan wajib

Ibnu Hajar al-Haitami (909-974H) ketika membahas hadits al-arba’in an-Nawawi ke-30 berikut

إنَّ اللهَ تَعَالى فَرَضَ فَرَائِضَ فَلاَ تُضَيِّعُوهَا، وَحَدَّ حُدُودًا فَلاَ تَعْتَدُوهَا، وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ فَلاَ تَنْتَهِكُوهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلاَ تَبْحَثُوا عَنْها

“Sesungguhnya Allah telah menetapkan kewajiban-kewajiban maka jangan disia-siakan. Allah telah meletakkan Batasan-batasan maka jangan diterjang. Allah telah mengharamkan beberapa hal maka jangan sampai dilanggar. Allah juga diam dalam beberapa hal, karena sayang kepada kalian bukan karena lupa, maka jangan sampai kalian mencari-carinya.” [Hadits hasan shohih diriwayatkan oleh ad-Daruquthni (dari sahabat Abu Tsa’labah al-Khusyaniy Jurtsum bin Nasyir radhiyallahu) dan selainnya]

khususnya ketika membahas bagian فَرَضَ فَرَائِضَ yang diatas kita terjemahkan ‘menetapkan kewajiban-kewajiban’ mengatakan hal berikut

وَقَدْ يُسْتَنْبَطُ مِنْهُ الدَّلَالَةُ بِمَذْهَبِنَا: أَنَّ الْفَرْضَ وَالْوَاجِبِ مُتَرَادِفَانِ, لِأَنَّ النَّهْيَ التَّضْيِيْعِ لَا يَخْتَصُّ بِالْفَرْضِ عِنْدَ غَيْرِنَا, وَهُوَ مَا ثَبَتَ بِدَلِيْلٍ قَطْعِيٍّ, بَلْ يَعُمُّ الْوَاجِبِ عِنْدَهُ أَيْضًا, وَهُوَ مَا ثَبَتَ بِدَلِيْلٍ ظَنِّيٍّ. فَتَفْرِيْعُ فَلَا تُضَيِّعُوْهَا عَلَي مَا قَبْلَهُ ظَاهِرٌ فِي شُمُوْلِهِ لِلْقِسْمَيْنِ

(Para ulama) telah mengambil dalil pada dari kalimat diatas (فَرَضَ فَرَائِضَ) pada madzhab kami bahwa fardhu dan wajib adalah sama. Hal ini dikarenakan larangan menyia-nyiakan, (bahkan) dikalangan selain kita tidak khusus pada perkara yang fardlu -yaitu perkara yang ditetapkan berdasarkan dalil qath’i- namun juga mencakup juga perkara yang wajib – yaitu perkara yang ditetapkan berdasarkan dalil zhanniy-. Maka perintah ‘jangan menyia-nyiakan’ terhadap hal yang disebutkan sebelumnya adalah jelas menunjukkan bahwa hal itu mencakup kedua jenis itu (fardlu dan wajib).

Bahasan ushul fiqh ini tidak sempat dibahas dalam kajian hadits al-arba’in ke-30 jum’at malam lalu karena sempitnya waktu untuk membahas tema ini. Untuk mencoba memahami perkataan Ibnu Hajar al-Haitami diatas juga latar belakang bahasan para ulama tentang hal ini kita coba melalui beberapa point berikut:

  • Perkataan ‘madzhab kami’ juga ‘selain kita’ yang disebut Ibnu Hajar al-Haitami merujuk kepada madzhab fiqh Syafi’i dimana Ibnu Hajar adalah salah satu ulama besar dalam madzhab ini, dan madzhab fiqh Hanafi. Dan Ibnu Hajar coba menyampaikan ikhtilaf dalam masalah ini antara dua madzhab ini.
  • Namun perkataan diatas dapat pula dimaksudkan madzhab atau metoda dalam ushul fiqh. Dimana secara umum terdapat metoda mutakallim dan metoda fuqaha. Metoda mutakallim digunakan oleh para ulama dari madzhab fiqh Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Sedangkan metoda fuqaha memang menjadi ciri khas ulama dari madzhab fiqh Hanafi.
  • Secara singkat, metoda fuqaha bersifat induktif dimana kaidah-kaidah ushul fiqh dibangun dari kasus-kasus pengambilan hukum fiqih. Secara histori, Imam Abu Hanifah memang tidak menulis kaidah-kaidah ushul fiqh secara khusus, sehingga ketika tuntutan zaman dan kondisi menuntut dituliskannya hal ini, para ulama madzhab Hanafi membangun ushul fiqh mereka dari simpulan-simpulan fiqh yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah. Hal ini mungkin menggambarkan mengapa disebut metoda fuqaha.
  • Sedangkan metoda mutakallim bersifat deduktif dimana kaidah-kaidah ushul fiqh dibangun diawal (tentunya dibangun diatas pemahaman terhadap syari’at Islam). Secara histori, Imam Syafi’i menuliskan kaidah-kaidah umum ini – dalam karyanya ar-risaalah- yang kemudian dikenal menjadi cabang ilmu islam tersendiri yaitu ushul fiqh.
  • Sebagaimana cabang ilmu islam lainnya ushul fiqh juga lahir dan berkembang karena tuntutan kondisi. Sebagaimana juga ilmu nahqu dan shorof, diawal-awal ilmu ini tidak diperlukan karena ketika Rasuulullah shallallahu’alaihi wasallam menyampaikan al-qur’an maupun sunnah nya para sahabat sudah memahami yang disampaikan itu dengan pemahaman bahasa arab yang benar. Namun ketika Islam menyebar ke berbagai negeri, ilmu ini perlu dituliskan dan akhirnya berkembang menjadi sebuah ilmu tersendiri. Begitupun ilmu ushul fiqh.
  • Nah, contoh perbedaan yang disinggung Ibnu Hajar al-Haitami dalam hadits diatas adalah tentang definisi fardlu dan wajib. Dimana Ibnu Hajar yang menggunakan metoda mutakallim dan memang bermadzhab fiqh Syafi’i memahami bahwa fardlu dan wajib itu sama. Sedangkan madzhab Hanafi dengan ushul fiqh metoda fuqaha membedakan kedua itu. Sebagaimana disebut Ibnu Hajar, fardlu menurut Hanafi adalah perkara yang harus dikerjakan yang ditetapkan dengan dalil qath’i ( مَا ثَبَتَ بِدَلِيْلٍ قَطْعِيٍّ ). Dalil qath’i yang dimaksud adalah al-Qur’an dan hadits yang mutawatir. Sementara wajib adalah perkara yang harus dikerjakan yang diteatpkan dengan dalil zhanni ( وَهُوَ مَا ثَبَتَ بِدَلِيْلٍ ظَنِّيٍّ ). Dalil zhanni misalnya hadits yang tidak sampe derajat mutawatir.
  • Imam al-Baghawi [436-516H] dalam karyanya Minhaajul Wushul ilaa ‘Ilmil Ushuul (منهاج الوصول إلي علم الأصول) menuliskan tentang definisi wajib

الّذِي يُذَمُّ شَرْعًا تَارِكَهُ قَصْدًا مُطْلَقًا, وَيُرَادِفُهُ الْفَرْضُ.

.وَقَالَتِ الْحَنَفِيَّةُ: الْفَرْضُ مَا ثَبَتَ بْفَطْعِيٍّ, وَالْوَاجِبُ بِظَنِّيٍّ

(wajib) adalah perkara yang perkara dimana orang-orang yang meniggalkannya secara sengaja tercela secara syari’at. Hukumnya sama dengan fardlu.

Hanafiyah berkata: ‘Fardlu adalah perkara yang ditetapkan oleh (dali) qath’i, dan wajib perkara yang ditetapkan oleh dalil zhanni.

  • Prof. Musthofa Diib al-Bugha dalam syarah terhadap karya al-Baghowi (yg dinamai oleh Prof. Diib al-Bugha النَّقْعُ الْمَأْمُوْلُ فِي خِدْمَةِ مِنْهَاجِ الْأُصُوْلِ)diatas menambahkan contoh pemahaman Hanafi ini yaitu terkait bacaan qur’an dalam sholat. Menurut Hanafi, membaca qur’an apapun dalam sholat (yaitu ketika berdiri) hukumnya fardlu karena berdasar pada ayat al-qur’an “فَاقْرَءُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْانِ” ‘bacalah apa yang mudah bagimu dari al-Qur’an’ [QS al-Muzammil ayat 20]. Sedangkan secara khusus membaca al-fatihah hukumnya wajib karena hal ini ditetapkan berdasarkan dalil zhanni yaitu hadits ‘لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ ‘ ‘tidak sah sholat orang yang tidak membaca pembuka al-qur’an (al-fatihah)'[HR Bukhari dan Muslim]
  • Mewakili ulama yang meyakini bahwa fardlu dan wajib itu sama. Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan bahwa bahkan dalam madzhab Hanafi layangan untuk menyia-nyiakan sesuatu itu berlaku untuk fardlu dan wajib juga. Sehingga Ibnu Hajar berargumentasi bahwa yang lebih tepat memang menyamakan kedua istilah ini.

Kita sebagai muslim Indonesia yang umumnya bermadzhab Syafi’i memang terbiasa dengan faham ini bahwa fardlu dan wajib adalah sama.

Namun minimal wawasan tentang hal ini bisa bermanfaat untuk menyadari begitu luasnya khasanah ilmu islam, memantik semangat untuk mempelajari berbagai khasanah ilmu islam, dan untuk tidak bersegera dalam menilai suatu pernyataan yang berbeda dengan pengetahuan kita saat ini. Bisa jadi yang berbeda adalah hanya maksud dari istilah yang digunakan dalam pernyataan tersebut.

wallahu’alam.

Posted by: tsdipura | August 29, 2021

Banyak tanya, sebab kehancuran atau kemajuan?

Bersikap kritis biasanya dicirikan dengan banyak nanya. Banyak yang percaya bahwa sikap ini, yang kerennya disebut critical thinking, adalah sikap yang baik untuk bisa berkembang.

Disisi lain, sebagaian kaum muslimin mengira bahwa sikap ini tidak baik bahkan menjadi sebab kehancuran berdasar pemahaman sekilas dari hadits terkait hal ini. Misalnya hadits berikutyang oleh Imam Nawawi ditempatkan sebagai hadits no.9 dalam karyanya al-arba’in:

عَن أبي هُريرةَ عَبدِ الرَّحمنِ بنِ صَخْرٍ رَضِي اللهُ عَنْهُ قالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يقولُ: {مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ واخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ} رواه البخاريُّ ومسلمٌ.

Dari Abu Hurairah Abdirrahman bin Shokhrin radhiyallahu’anhu,ia berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda: “Apa saja yang saya larang maka jauhilah, dan apa saya perintahkan laksanakanlah semampu kalian. Sesungguhnya kehancuran umat sebelum kalian adalah karena banyak pertanyaan dan menselisihi nabi mereka”. [Diriwayatkan oleh Imam  Bukhari dan  Muslim].

Ya, dalam hadits diatas memang secara harfiah disebutkan bahwa ‘banyak pertanyaan’ adalah salah satu sebab kehancuran.

Apa benar hadits ini kita fahami bahwa ‘banyak bertanya’ adalh sebab kehancuran? Singkatnya TIDAK. Artinya tidak bisa berlaku umum begitu. Bahkan pada beberapa tempat Islam mengajarkan untuk kritis dan banyak bertanya dan ini bisa menjadi sebab kebaikan atau kemajuan. Namun memang ada hal-hal yang kita harus menjaga diri dari banyak bertanya karena bisa mengarah pada kemudharatan.

Mari kita simak detail penjelasan Imam Nawawi, sang penyusun kumpulan buku hadits ini sendiri…seorang Imam besar yang karya-karyanya banyak bermanfaat bagi ummat berikut

Dalam menjelaskan hadits diatas Imam Nawawi mendetailkan dengan berkata: ” Ketahuilah bahwa ‘bertanya ‘ itu ada beberapa macam (اعْلَمْ اَنَّ السُّؤَالَ عَلََى أَقْسَامٍ):

Jenis Pertama:

(سُؤَالُ الْجَاهِلِ عَنْ فَرَائِضَ الدِّيْنِ كَالْوُضُوْءِ وَالصَّلَاةِ وَالصَّوْمِ، وَعَنْ أَحْكَامِ الْمُعَامَلَةِ وَنَحْوِ ذَلِكَ.)

(وَهَذَا السُّؤَالُ وَاجِبٌ وَعَلَيْهِ حُمِلَ قَوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ)) وَمُسْلِمَةٍ، وَلَا يَسَعَ الْإِنْسَان السُّكُوْت عَنْ ذَلِكَ)

قال تعالى: {فَاسْأَلُوْا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ} [النحل:43]،

وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضي الله عنهما: إِنِّي أُعْطِيْتُ لِسَاناً سُؤَولاً وَقَلْباً عُقُوْلاً، كَذَلِكَ أَخْبَرَ عَنْ نَفْسِهِ رضي الله تعالى عنه.

Pertanyaan orang yang tidak tahu terhadap kewajiban-kewajiban agamanya seperti wudhu, sholat, shaum, juga hukum-hukum mu’amalah atau yang serupa itu.

Jenis pertama ini hukumnya wajib sebagaimana diperintahkan dalam perkatan Rasuulullah shallallahu’alaihi wasallam “Menuntut ilmu adalah wajib bagi semua muslim”

Allah ta’ala juga berfirman:

“Bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kalian tidak mengetahui”. [QS an-Nahl ayat 43].

Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma mengabarkan tentang kondisi dirinya dengan berkat: “Saya memiliki lisan yang selalu bertanya dan hati yang berfikir.”

Jenis Kedua:

السؤال عن التفقه في الدين سبحانه وتعالى: {فلولا نفرَ مِنْ كُلَّ فرقةٍ منهم طائفة، ليتفقهوا في الدين ولِينذِروا قومَهُمْ إذا رَجَعوا إليهم لعلهم يَحذَرون} [التوبة:122]

وقال صلى الله عليه وسلم: ((ألا فليعلم الشاهد منكم الغائب))

Pertanyaan dalam rangka memahami lebih mendalam agama Allah subhanahuwata’ala, sebagaimana firman Allah ta’ala:“… Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” [QS at-Taubah ayat 122]

Nabi Muhammad shalallahu’alaihiwasallam juga bersabda: “Ingatlah, hendaknya yang hadir mengajarkan kepada yang tidak hadir”.

Jenis Ketiga:

أَنْ يَسْأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُوْجِبْهُ اللهُ عَلَيْهِ، وَلَا عَلَى غَيْرِهِ، وَعَلَى هَذَا حُمِلَ الْحَدِيْثُ لِأَنَّهُ قَدْ يَكُوْنُ فِي السُّؤَالِ تَرْتِيْبُ مَشَقَّةٍ بِسَبَبِ تَكْلِيْفٍ يُحْصَلُ, وَلِهَذَا أَشَارَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءٍ رَحْمَةً لَكُمْ فَلَا تَسْأَلُوا عَنْهَا)).

وعَنْ عَلِي رضي الله عنه لَمَا نَزَلَتْ {وَللهِ عَلَى النَّاسِ حِجُ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلَا}. [آل عمران :97]

قال رجل: أَكُلَّ عَامٍ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ فَأَعْرَضَ عَنْهُ، حَتَّى أَعَادَ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثاً فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: “وَمَا يَؤْمَنُكَ أَنْ أَقُوْلَ نَعَمْ؟ وَاللهِ لَوْ قُلْتُ: نَعَمْ لَوَ جَبَتْ، وَلَوْ وَجَبَتْ لَمَا اسْتَطَعْتُمْ، فَاتْرُكُوْنِي مَا تَرَكْتُكُمْ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلَافُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإْذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ أَمْرٍ فَاجْتَنِبُوْهُ”

فَأَنْزَلَ اللّهُ تَعَالَى: {يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءٍ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُم} [المائدة:101]. أَيْ لَمْ آمِرُكُمْ بِالْعَمَلِ بِهَا

وَهَذَا النَّهْيُ خَاصٌ بِزَمَانِهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. أَمَّا بَعْدَ أَنِ اسْتَقَرَّتْ وَ أَمِنَ مِنَ الزِّيَادَةِ فِيْهَا زَالَ النَّهْيُ بِزَوَالِ سَبَبِهِ.

Ketiga, bertanya terhadap suatu hal yang tidak diwajibkan oleh Allah ta’ala kepadanya juga kepada selainnya. Pertanyaan jenis inilah yang dimaksud dalam hadits yang kita bahas ini. Pertanyaan ini dilarang karena terkadang akan memunculkan ‘pembebanan’ atau taklif yang menyulitkan. Oleh karena itu rasuulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda: “(Allah) diam terkait suatu hal sebagai rahmat bagi kalian maka jangan bertanya tentangnya”

Diriwayatkan dari ‘Ali radhiyallahu’anhu bahwa Ketika turun ayat”

mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. [QS Ali Imran ayat 97]

Seorang pria berkata: ‘apakah setiap tahun wahai Rasuulallah?’ Maka Rasuulullah berpaling darinya, hingga pria itu mengulang dua atau tiga kali, hingga Rasuulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda kepadanya: “Apa yang membuatmu aman jika aku menjawab ‘iya’. Hampir saja saya menjawab ‘Iya’, demi Allah seandainya aku jawan ‘Iya’ maka hal itu akan menjadi kewajiban, dan bila hal itu diwajibkan maka kalian tidak akan sanggup. Maka biarkanlah saya pada hal-hal yang saya berikan pada kalian, sesungguhnya kehancuran umat sebelum kalian adalah banyak bertanya dan menselisihi nabi mereka. Maka apabila saya memerintahkan suatu hal, kerjakanlah semampu kalian. Dan bila saya larang sesuatu maka tinggalkanlah.

Allah ta’ala juga berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu …” [QS al-Maidah ayat 101] Maksudnya, Allah tidak memerintahkan hal itu.

Dan larangan ini khusus pada masa hidupnya Rasuulullah shallallahu’alaihiwasallam, adapun setelah agama Islam telah sempurna dan tidak mungkin lagi ada penambahan maka hilanglah larangan ini karena telah hilang sebab pelarangannya.

Dari uraian Imam Nawawi diatas maka jelas bahwa Islam secara umum malah mendorong untuk banyak bertanya sebagai jalan untuk mendapatkan ilmu dan berujung pada kemanfaatan dan kemajuan.

Namun khusus pada masalah-masalah tertentu terkait agama kita perlu berhati-hati dan menahan diri untuk banyak bertanya, bahkan hati-hati jangan sampai syaithon menyusup dan mengarahkan kita pada pertanyaan-pertanyaan yang malah bisa berujung pada kemudharatan bahkan kekufuran. Misalnya hadits berikut yang dinukil oleh Ibnu Hajra al-Haitami ketika menjelaskan hadits al-Arba’in diatas:

يَأْتِيْ الشَّيْطَانُ أَحَدَكُمْ فَيَقُوْلُ: مَنْ خَلَقَ كَذَا؟ مَنْ خَلَقَ كَذَا؟ حَتَّي يَقُوْلُ: مَنْ خَلَقَ رَبَّكَ؟ فَإْذَا بَلَغَهُ… فَلْيَسْتَعِذْ بِاللهِ وَلْيَنْتَهِ.

“Syaithon akan mendatangi kalian dan berkata, siapa yang menciptakan ini? siapa yang ciptakan ini? hingga akhirnya berkata, siapa yang ciptakan Tuhan kalian?. Maka seperti itu, maka berlindunglah kepada Allah (dengan isti’adzah) dan berhenti.” [HR. Bukhari dan Muslim]

Dengan sifat kritis dan mempertanyakan serta mencari kemungkinan yang lebih baik Ummat ini telah mendapatkan banyak kegemilangan, bahkan sejak perang Badr, posisi kemah kaum Muslimin yang strategis lahir dari keberanian sahabat bertanya tentang opsi posisi lain selain yang ditetapkan Rasuulullah yang memang tidak bersifat ‘taufiqiyah’, juga melahirkan legacy Jabir ibn Hayyan yang menghabiskan waktunya mencari berbagai reaksi kimia yang bermanfaat sehingga menemukan teknik distilasi, teknik yang dengannya saat ini kita bisa menikmati berbagai produk turunan minyak bumi seperti bensin dan lainnya.

Untuk membangun kegemilangannya Ummat ini diantaranya perlu membangun sikap kritis bertanya dan mencari opsi atau solusi yang lebih baik dari yang sudah ada. Tidak diam dalam ketidaktahuan dan keterpurukannya. Tentu semuanya tetap melalui bimbingan Allah melalui para ulama dengan berbagai kepakaran mereka.


Penjelasan Imam Nawawi diatas juga penjelasan tambahan dari syarah oleh Ibnu Hajar al-Haitama dibahas dalam Kajian Hadits al-Arba’in an-Nawawi ke-30 berikut:

Gambar yang beredar di beberapa grup Whatsapp tentang larangan Qaza’

Gambar diatas beredar di beberapa grup Whatsapp. Gambar ini mengingatkan tentang larangan untuk melakukan qaza’ dengan menukilkan hadits shohih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.

Alhamdulillah, beredarnya gambar seperti ini di media sosial insyaAllah mewakili semangat untuk menyebarkan hukum Islam atau menghidupkan sunnah Rasuulullah shallallahu’alaihi wasallam.

Lebih jauh, tulisan ini sekedar ingin melengkapi informasi fiqih terkait gambar diatas. Terutama lebih jauh tentang apakah larangan itu berarti HARAM, atau MAKRUH. Untuk itu kita akan mengambil pelajaran dari buku para ulama kita.

Dari buku MATAN FIQH:

Dalam matan-matan fiqh langsung disebutkan kesimpulan hukum tentang qaza’ yaitu MAKRUH. Buku-buku matan seperti ini memang diperuntukkan untuk pemula dengan langsung memberikan kesimpulan dari para ulama. Kesimpulan hukum bahwa qaza’ adalah makruh setidaknya disebutkan dalam dua matan fiqh berikut:

  • Matan fiqh Umdah as-Saalik (karya Abul Abbas Ahmad bin Lu-lu bin Abdillah Ibnu Naqib,702-769H) dalam Bab Thoharoh Bagian Kebiasaan-kebiasaan fitrah (خِصَالُ الْفِطْرَة) disebutkan ‘…dan dimakruhkan al-qaza’ (وَيُكْرَهُ الْقَزَع). Setelah menyebut hukumnya penulis Umdah as-Salik juga menambahkan bahwa Qaza’ adalah memotong sebagian rambut kepala dan membiarkan yang lainnya (وَهُوَ حَلْقُ بَعْضِ الرَّأْسِ وَ تَرْكُ بَعْضِهِ).
  • Matan fiqh al-Muqaddimah al-Hadhramiyyah (karya Abdullah bin Abdurraham Bafadhl al-Hadrami, 850-917H) dalam Bab Thoharoh Bagian Kebiasaan-kebiasaan fitrah (خِصَالُ الْفِطْرَة) menulis sama dengan Ibnu Naqib diatas ‘…dan dimakruhkan al-qaza’ (وَيُكْرَهُ الْقَزَع).

Dari buku SYARAH terhadap Matan Fiqh:

Buku-buku syarah/penjelasan adalah konsumsi lanjutan bagi para pembelajar fiqih. Dalam buku ini bisa kita dapatkan penjelasan lebih jauh dibalik kesimpulan hukum yang didapat pada buku MATAN.

Pertama, syarah terhadap Umdah as-Saalik yang ditulis Prof. Diib al Bugha hafizhahullah bernama Tashiil al-Masaalik (تًسْهِيْلُ الْمَسَالِك بِشَرْحِ وَ تَهْذِيْبِ عُمْدَةِ السَّالِكِ وَعُدَّةِ النَّاسِكِ) . Prof. Diib al-Bugha hafizhahullah adalah ulama Syiria yang saat ini masih hidup dan produktif memberi penjelasan terhadap karya-karya ulama klasik. Dalam buku ini sebagai penjelasan lebih jauh terhadap isi matan Umdah as-Salik yang hanya menyebut kesimpulan bahwa hukumnya MAKRUH, Prof. Diib al-Bugha menambahkan komentar Imam Nawawi berikut:

قال النووي رحمه الله تعالي في شرح صحيح مسلم : و مدهبنا كراهته مطبقا للرجل و المرأة, معموم الحديث, والحكمة في كراحته أنه تشويه للخلق . و قيل: لأنه زي اليهود, وقد جاء هذا في رواية لأ بي داود, و الله أعلم

Imam Nawawi berkata pada karyanya Syarah Shohih Muslim: “Dan madzhab kami (madzhab Syafi’i) menghukumi qaza’ sebagai sesuatu yang makruh bagi laki-laki maupun perempuan karena hadits diatas yang umum. Dan hikmah dari makruhnya qaza’ karena qaza’ termasuk bentuk merubah ciptaan Allah (tasywiih). Juga dikatakan hukumnya makruh karena itu adalah model rambut khas nya orang yahudi sebagaimana disebutkan dalam riwayat lain dari Abu Dawud. Wallahu’alam.”

Di buku Tashiil al-Masaalik ini Prof. Diib tidak menerangkan dari mana komentar Imam Nawawi ini diambil berbeda dengan apa yang Beliau tambahkan dalam karya lain yang lebih banyak informasinya. Hal ini sesuai penjelasan Prof.Diib al-Bugha dalam muqaddimah buku Tashiil al-Masaalik ini bahwa memang buku ini adalah syarah yang sifatnya sederhana saja, hanya memberi sedikit penjelasan. Prof. Diib al-Bugha juga sebelumnya melakukan syarah terhadap Umdah as-Salik dengan lebih mendalam dalam karyanya Tanwiir al-Masaalik (تَنْوِيْرُ الْمَسَالِك بِشَرْحِ وَأَدِلَّةِ عُمْدَةِ السَّالِك). Sayangnya saat ini saya belum punya koleksi kitab ini.

Kedua, syarah terhadap Matan al-Muqaddimah al-Hadramiyyah diatas yaitu al-Hadiyyah al-Mardhiyyah ( الهَدِيَّةُ الْمَرْضِيَّةُ بِشَرْحِِ وَأَدِلَّةِ الْمُقَدِّمَةِ الْحَضْرَمِيَّةِ) yang juga karya Prof. Diib al-Bugha hafizhahullah. Syarah al-Hadiyyah ini jauh lebih lengkap dimana Prof.Diib banyak memasukkan dalil-dalil tambahan untuk menjelaskan matan. Meskipun sayang sekali, cakupan matan al-Muqaddimah al-Hadramiyyah hanya Kitab Ibadah, sehingga penjelasan dalil lengkap dari Prof. Diib al-Bugha pada kita al-Hadiyyah ini pun hanya untuk Kitab Ibadah.

Untuk menerangkan kesimpulan matan tentang hukum qaza’ yang makruh Prof. Diib al-Bugha menambahkan keterangan:

  • Hadits tentang larangan qaza’ dari sahabat Ibnu Umar berikut:

عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلي الله عليه و سلم يَنْهَي عَنِ الْقَزَع

Dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, ia berkata: Saya mendengar Rasuulullah shallallahu’alaihiwasallam melarang qaza’.

yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari pada Kitab Pakaian () Bab Qaza’ no.5576. dan Imam Muslim pada Kitab Pakaian dan Perhiasan () Bab Makruhnya Qaza’ () no. 2120.

  • Penjelasan Imam Nawawi terhadap hadits diatas sebagaimana yang Prof. Diib al-Bugha nukil dalam buku syarah pertama diatas.
  • Riwayat tentang perkataan Anas bin Malik dari Kitab at-Tarajjul Bab Tentang Rukhshoh setelah Bab: Rambut Depan/Poni (الذؤبة)

عن الحجاج بن الحسان قال: دخلنا علي أنس بن مالك رضي الله عنه, فحدبثتني أختي المغيرة قالت: و أنت يومئذ غلام ولك قرنان, أو قصتان, فمسح رأسك, و يرّك عليك, و قال: احلقوا هذين, أو قضّو هما, أإن هذا زي اليهود.

Dari Hajaaj bin Hasaan ia berkata: Dulu kami mendatangi Anas bin Malik radhiyallahu’anhu. Lalu saudariku al-Mughirah berkata: Saat itu kamu masih kecil dengan dua ‘tanduk’ atau dua poin (bagian depan kepala) maka Anas bin Malik mengusap kepalamu, mengurainya kebelakang, lalu berkata: cukur atau potong dua poni ini, sesungguhnya ini adalah tradisinya yahudi.

Penutup

Dari penjelasan-penjelasan diatas kita dapat mengetahui kesimpulan hukum bahwa Qaza’ adalah MAKRUH dengan landasan berikut:

  • Larangan Rasuulullah shallallahu’alaihiwasallam dalam hadits Ibnu Umar tentang larangan qaza’ sebagai nash utama.
  • pemahaman Imam Musliim yang memberi nama bab ketika menempatkan hadits ini dengan Bab Makruhnya Qaza’, dan memang fiqih/pemahaman para ulama hadits tentang perkaran fiqih diantaranya dapat dilihat dari penamaan bab dalam buku mereka.
  • Lalu komentar Imam Nawawi yang menyatakan hukumnya makruh sekaligus menyampaikan hikmah bahwa itu makruh karena bentuk mengubah ciptaan Allah (tasywiih) dan merupakan kebiasaan yahudi.
  • riwayat tentang perkatan Anas bin Malik yang menyuruh Hajaaj bin Hasaan yang saat itu memiliki dua poni dibagian depan (yang difahami selain dua poni ini bagian rambut lainnya tidak ada atau sangat pendek) untuk mencukur dua poni nya ini karena itu adalah kebiasaan orang yahudi.
  • buku-buku Matan fiqih yang memberikan kesimpulan hukum ini. Kesimpulan hukum yangdisampaikan ulama dalam kitab-kitab Matan Fiqh yang diakui sebeneranya cukup menjadi hujjah atau landasan amal bagi para pembelajar pemula atau pun orang-orang awal secara umum dari kalangan kaum muslimin.

Informasi lebih detail tentang hukum larangan, apakah HARAM atau MAKRUH, juga penting untuk diketahui agar dapat bersikap adil. Yaitu dapat menempatkan sesuatu pada tempatnya, karena tentunya sikap kita berbeda untuk sesuatu yang haram dibandingkan sesuatu yang makruh. Sebagaimana memudah-mudahkan sesuatu yang makruh adalah kesalahan, begitupun ketika memberat-beratkan yang makruh seakan seperti suatu hal yang haram juga tidak tepat. Wallahu’alam.

Posted by: tsdipura | June 20, 2020

Bikin makalah layak published?

Makalah boleh dibilang sebagai ‘etalase’ dari hasil olah fikir atau karya seorang atau beberapa orang. Secara sederhana kadang diistilahkan ‘makalah’ adalah laporan singkat dari solusi terhadap suatu masalah. Mungkin ‘masalah’ itu sudah ada yang menyelesaikan sebelumnya, tp makalah ini hadir dengan cara lain yang lebih mudah, murah, atau kelebihan baru lainnya. Apalagi klo memang masalah itu belum ada yang memecahkan, maka nilai kebaruan dari ‘makalah’ itu juga akan sangat tinggi, istilah kerennya punya ‘novelty’ yang tinggi.

Kayaknya dah banyak ya lecture yg ngasih tentang cara bikin makalah yg baik. Bahkan secara formal, seorang peneliti yang resmi masuk dalam Fungsional Peneliti LIPI diharuskan ikut semacam Diklat Peneliti Pertama, nah materi utamanya (tanpa mengabaikan materi pendukung lain yg penting) adalah ‘gimana bikin makalah yang baik’.

Tp kali ini sy coba cerita dari pertanyaan2 dengan perspektif seorang reviewer. Hmm..mungkin karena COVID-19 ini banyak reviewer handal yang gak bisa kontribusi mereview di jurnal2 bonafid, sejak tengah tahunan lalu lumayan juga nih kerjaan me-review. Di beberapa jurnal yang memang tradisi ilmiahnya terkenal kuat, malah sy merasa diarahkan dalam membantu mereview sekaligus menjadi pelajaran ketika kita sendiri yang menulis makalah itu. Dalam penataran2 untuk jd reviewer sbrnya dah diajarkan hal2 ini, tp pas mereview langsung makalah yg diajukan orang lain tampakny jurus2 itu makin jelas. Mknya sy fikir bagus juga untuk dishare, atau suatu saat jd reminder bg sy sendiri.

OK, intinya reviewer akan melihat dgn beberapa pertanyaan berikut (mungkin agak beda2 tp kurang lebih mirip lah ya):

1. Apa makalahnya memberikan kontribusi baru terhadap bidang tersebut?

– Nah, ini pertanyaan sangat penting yg perlu dihadirkan ketika bikin makalah. Apa yang kita tulis memberikan ‘kontribusi baru’ di bidang tersebut? Mungkin menjawab sebuah ‘masalah’ tapi, bagaimana ‘status’ masalah tersebut? apakah memang orang2 di bidang tersebut masih menganggap itu masalah, atau dianggap sudah clear.

Meskipun ‘kontribusi’ ini juga bertingkat2 (sebagaimana bertingkat2nya juga kualitas makalah dan juga ‘level bonafiditas sebuah jurnal’.

– Jadi intinya, kita harus memformulasikan bagaimana ‘kontribusi dari pekerjaan kita, yg ditulis dalam makalah’. Buatlah orang yang membaca mengerti ‘apa kontribusi yg disajikan dalam makalah tersebut’.

Biasanya bagian ‘introduction’ atau ‘pendahuluan’ sangat penting dalam menyajikan ini. Mulai dengan review status ‘masalah’, lalu hadirkan hal baru yang ingin kita kontribusikan, dan batasan yang jelas dari kontribusi kita tersebut.

Pertanyaan pertama ini super penting.

Reviewer biasanya akan menilai jawaban terhadap pertanyaan ini setelah membaca makalah secara lengkap dan seksama, bahkan cek ricek referensi yang diberikan.

Ok, selanjutnya terkait isi dari makalah lebih detail:

2. Does the title of the paper reflect sufficiently and clearly the topic?. Apakah judul menunjukkan topik yang dibahas juga apa yang dikerjakan dalam makalah tersebut?

  • reviwer akan cek judul. Meskipun boleh dibilang ini bukan pertanyaan ‘Go-or-not-to-Go ‘ yang bs menyebabkan gagal published atau tidak. Tp tetap penting untuk meramu judul agal mewakili pekerjaan kita. Judul yang tepat juga somehow akan mengarahkan ‘reviewer’ agar bisa menangkap kontribusi yang kita maksud.

3. Does the abstract contain a sufficient summary or the work?

Apa abstrak dari makalah mengandung ringkasan yang cukup dari pekerjaan yang dilakukan dlm makalah? apakah tujuan dari apa yang dikerjakan dinyatakan dlm makalah?

4. Does the introduction present the important of the topic, a recent literature review, and a clear objective?

-Nah hal-hal diatas jangan lupa untuk disajikan di introduction. Seperti dibicarakan pada pertanyaan no.1, bagian ini biasanya yg menentukan kesan pertama terhadap kontribusi baru dari makalah kita.

5. Is the model and analysis clearly presented?

model yg kita kerjakan, apalagi itu kita nyatakan sebagai ‘kebaruan’ kita harus disajikan dengan jelas.

6. Is the experimental part clearly presented (with an error analysis)?

7. Is the discussion of the results sufficiently done?

– hindari hanya menyajikan data mentah tanpa ada diskusi ilmiah terhadap data tersebut yg berujung pada terdukung atau terbantahkannya premise awal kita sebagai jawaban awal dari ‘research question’ makalah ini.

8. Are the conclusions sound and justifiable?

– Nah ini juga menarik. Pada dasarnya konklusi haruslah menjawab ‘research question’ yang kt nyatakan di bagian ‘introduction’. Dalam rangka menjawab itu, kadang dari data dan analisisnya kita juga bs menemukan simpulan-simpulan lain. Jd kesimpulan harus dibackup oleh data dan analisis yang dibahas di bagian sebelumya.

Klo ujug-ujug maka reviewer mulai bingung, klo reviewer bingung dgn logika dari makalah kita maka ini tanda-tanda gak baik hehe..

9. is the presentastion clear to readers familiar with the field?

  • makanya sangat baik draft makalah kita bisa dibaca dulu oleh kolega2 kita yang lain. Klo anggota penulis agak banyak ini menjadi keuntungan sendiri krn banyak kepala yg sudah baca. Tp klo mau minta tolong rekan lain bantu baca juga sangat baik.

10. Are the figures and tables all necessary and acceptable?

  • Yap, jangan asal tempel gambar. Baik dari sisi ‘reason of being’ mengapa gambar itu ada di situ (necessary?), juga dari sisi kejelasan gambar (acceptable?).

Nah, mungkin bbrp pertanyaan diatas coba kita jawab dulu sendiri sebelum kita submit makalah kita.

 

 

 

 

Posted by: tsdipura | June 13, 2020

Rukun-rukun Mandi

بسم الله الرحمن الرحيم

Matan Safiinah an-Naja terkait rukun-rukun mandi:

  فَصْلٌ:فُرُوْضُ الْغُسْلِ: النِّيَّةُ, وَتَعْمِيْمُ الْبَدَنِ بِالْمَاءِ.

 Rukun-rukun mandi ada dua[1]: niyat[2] dan menyiram seluruh badan dengan air[3].


Catatan Kaki (dari Nail ar-Raja syarh Safiinah an-Naja karya Ahmad bin Umar asy-Syatiri):

[1] [Makna rukun-rukun mandi]

Ahmad asy-Syatiri (dalam Nail ar-Raja syarh Safiinah an-Naja) :”Bahwa rukun mandi, dimana tidak akan tercapai pokok dari mandi, baik mandi wajib maupun sunnah, ada dua (yaitu niyat dan menyiram seluruh badan dengan air) (أَنَّ أَجْزَاءَالْغُسْلِ الَّتِي لَا تَتَحَقَّقَ مَاهِيَتُهُ إِلَّا بِهَا وَاجِبًا كَانَ أَوْمَسْنُوْنًا اِثْنًانِ.).”

[2] [Rukun Pertama: Niyat]

Ahmad asy-Syatiri:”Bahwa rukun mandi yang pertama adalah niyat pada saat menyiram bagian badan pertama ketika mandi (أَنَّ الْأَوَّلَ مِنْ فَرْضِي الْغُسْلِ: نِيَّةٌ عِنْدَ غُسْلِ أَوَّلِ جُزْءٍ مِنْ البَدَنِ).  Maka orang yang junub berniyat:

  • Secara umum bagi semua yang junub bisa dengan niyat untuk menghilangkan junubnya (فَيَنْوِي الْجُنُبُ رَفْعَ الْجَنَابَةِ),
  • orang yang haid bisa dengan niyat menghilangkan hadats haid atau nifas
    • jika yang dimaksud dalam niyat nifas (padahal dia tidak nifas tapi haid) bukanlah makna secara syar’i

(وَالْحَاءِضُ رَفْعَ حَدَثِ الْحَيْضِ أَوْ النِّفَاسِ إِنْ لَمْ تَقْصُدْ بِهِ الْمَعْنَي الشَّرْعِي).

  • Orang yang nifas niyat untuk menghilangkan hadats nifas atau haid.
    • jika yang dimaksud dengan niyat haid (padahal dia tidak haid tapi nifas) bukanlah makna secara syar’i,

(وَالْنفساء رَفْعَ حَدَثِ النِّفَاسِ أَوْالْحَيْضِ إِنْ لَمْ تَقْصُدْ بِهِ الْمَعْنَي الشَّرْعِي)

  • orang yang baru melahirkan niyat untuk menghilangkan hadats dari melahirkan. (وَفِي الْوِلَادَةِ رَفْعَ حَدَثِ الْوِلَادَةِ)”

Dr. Labib Najib Abdullah:”Tentang wanita yang haid lalu mandi dengan niyat menghilangkan hadats nifas atau sebaliknya. Maka hukumnya sebagai berikut:

  1. Bila hal itu terjadi tanpa sengaja maka hukumnya sah.
  2. Bila hal itu terjadi secara sengaja?
    1. Menurut Syamsuddin ar-Ramli hukumnya sah. Karena secara bahasa arab haid dan nifas maknanya bisa sama.
    2. Menurut Ibnu Hajar al-Haitami: (Pendapat inilah yang diambil oleh Ahmad asy-Syatiri dalam Nail ar-Roja diatas).
      1. Sah apabila yang dimaksud oleh wanita itu bukanlah makna syar’i.
      2. Tidak sah apabila yang dimaksud oleh wanita itu adalah makna syar’i.”

[Lebih jauh tentang kaifiyat/cara berniyat]

Ahmad asy-Syatiri: “Cukup juga dengan niyat untuk bersuci dari semua sebab janabah (أَنْ يَنْوِيَ عَنْ كُلٍّ) dengan niyat melakukan mandi wajib (فَرْضَ الْغَسْلَ) atau menghilangkan hadats besar (أو رفع الحدث الأكبر) atau menghilangkan hadats (أَوْ رَفْعَ الْحَدَثِ).

Dan tidak cukup apabila hanya dengan niyat mandi atau niyat thaharah/ bersuci saja (لَا نِيَّةَ الْغُسْلِ وَالطَّهَارَةِ فَقَتْ).

Sedangkan orang yang sakit sehingga terus keluar mani maka ia wajib berniyat ‘dibolehkan beramal’ (istibaahah) dan tidak cukup baginya dengan niyat-niyat yang disebutkan sebelumnya. (وَتَجِبُ عَلَي مَنْ بِهِ سَلَسُ الْمَنِيِّ نِيَّةٌ نَحْوَ الْاِسْتِبَاحَةِ وَلَا تَكْفِيْهِ إِحْدَي النِّيَّاتِ السَّابِقَةِ)”

[3] [ٌRukun Kedua: Menyiram seluruh badan dengan air]

Ahmad asy-Syatiri:”Bahwa rukun kedua dari mandi adalah menyiram seluruh badan dengan air (استعاب جميع البدن بالماء) termasuk kulit (بَشَرًا), kuku (ظُفْرًا), dan rambut baik yang bagian luar atau dalam meskipun rambut tersebut tebal (وَشَعْرًا ظَاهِرًا وَبَاطِنًا وَإِنْ كَثِفَ الشَّعْرُ). Juga apa yang nampak dari hidung yang terpotong (وَمَا ظَهَرَ مِنْ أَنْفٍ مَجْدُوْعٍ), tempat tumbuh rambut/bulu yang rontok (وَمَنْبَتِ شَعْرَةٍ زَالَتٍ), bagian dalam pecahan-pecahan kulit selama belum mencapai bagian daging (وَشُقُوْقٌ لَمْ يَكُنْ لَهَا غَوْرٌ), dan apa yang berada di bawah kulit ujung zakar (وَمَا تَحْتً قُلْفَةِ الْأَقْلَفِ)(yang dipotong dalam khitan, bagi yang belum berkhitan), apa yang tampak dari kemaluan wanita perawan atau bukan perawan ketika duduk untuk membuang hajat (مَا ظَهَرَمِنْ فَرْجِ بِكْرٍأَوْثَيِّبٍ إِذَا قَعَدَتْ لِقَضَاءِ حَاجَتِهَا).

Tidak wajib untuk membasuh bagian dalam kemaluan juga bagian dalam hidung (لَا بَاطِنُ فَرْجٍ وَ أَنْفٍ وعَقْدِ شَعْرٍاِنْعَقَدَ بِنَفْسِهِ), ikatan rambut yang terikat dengan sendirinya.

Wajib mengurai ikatan rambut (kepang rambut) apabila air tidak bisa masuk ke bagian dalamnya. (وَيَجِبُ نَقْضِ الضَّفَاءِرَ إِذَا لَمْ يَصِلْ الْمَاءُ إِلَي بَاطِنِهَا إِلَّا بِهِ)”

[Apa yang disebut badan?]

Ahmad asy-Syatiri: “Badan (البَدَنُ) asalnya secara bahasa adalah apa-apa selain kepala dari tubuh kita (مَا سِوَي الرَّأْسِ). Namun yang dimaksud disini adalah semua bagian tubuh kita (جَمِيْعُ الْجَسَدِ)”

[Sunnah-sunnah Mandi?]

Ahmad asy-Syatiri: “Terdapat banyak sunnah-sunnah wudlu, diantaranya:

  • Berdiri (القِيَامُ),
  • menghadap kiblat (وَاسْتِقْبَالُ الْقِبْلَةِ),
  • berwudlu (وَالْوُضُوْءُ),
  • mengucapkan bismillah (وَالتَّسْمِيَّةُ),
  • memaksimalkan basuhan bagian tubuh yang ada lipatan (agar air benar-benar bisa mengalir ke bagian dalam)(وَتَعَهُّدُالْمَعَاتِفِ).
  • menggosok-gosok bagian badan(وَالدَّلْكُ),
  • mengulang tiga kali dalam menyiram bagian badan (وَالتَّثْلِيْثُ),
  • melakukan secara berurutan yaitu (وَتَرْتِيْبُ أَفْعَالُهُ:)
    • mulai dari membasuh kedua telapak tangan (بِأَنْ يَغْسِلَ الْكَفَّيْنِ),
    • lalu kemaluan dan sekitarnya (ثُمَّ الْفَرْجِ وَمَا حَوَالَيْهِ),
    • lalu berkumur dan istinsyak (memasukkan air ke hidung) (ثُمَّ يَتَمَضْمَضُ وَ يَسْتَنْشِقُ),
    • lalu berwudlu dengan wudlu sempurna dan berniyat mengangkat hadats kecil meskipun tidak dalam keadaan berhadats kecil (ثُمَّ يَتَوَضَّأُ وُضُوْءًا كَامِلًا وَيَنْوِي بِهِ رَفْعَ الْحَدَثِ الْأَصْغَرِوَإِنْ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ),
    • memaksimalkan basuhan bagian tubuh yang ada lipatan (ثُمَّ وَيَتَعَهَّدُالْمَعَاتِفِ).
    • lalu menyiramkan air ke kepala(ثُمَّ يُفِيْضُ الْمَاءَ عَلَي الرَّأْسِ),
    • lalu ke bagian kanan tubuh bagian depan, lalu bagian belakangnya, lalu bagian kiri tubuh depan lalu bagian belakangnya(ثُمَّ عَلَي أَقَبَلِ مِنْ الشِّقِّ الْأَيْمَنِ ثُمَّ مَا أَدْبَرَ مِنْهُ ثُمَّ عَلَي مَا أَقْبَلِ مِنْ الشِّقِّ الْأَيْسَرِ ثُمَّ عَلَي مَا أَدَبَرَ مِنْهُ).”

[Hal-hal yang makruh dalam Mandi dan bagi orang yang junub]

Ahmad asy-Syatiri: “ Hal-hal yang makruh dalam mandi adalah hal-hal yang makruh dalam wudlu. (وَلَهُ مَكْرُوْهَاتٌ هِيَ مَكْرُوْهَاتُ الْوُضُوْءِ)

Sedangkan orang yang junub dimakruhkan untuk tidur, jima’/berhubungan badan, makan, atau minum sebelum wudlu dan membasuh kemaluan. (وَيُكْرُهُ لِلْجُنُبِ النَّوْمُ وَالْجِمَاعُ وَالْأَكْلُ وَالشُّرْبُ قًبْلَ الْوُضُوْءِ وَغَسْلِ الْفَرْجِ)

Khusus bagi wanita yang sudah selesai dari haid dan nifas, hal-hal tadi juga makruh kecuali jima’ atau berhubungan badan yang hukumnya haram.(وَمِثْلُهُ مَنْ اِنْقَطَعَ حَيْضُهَا أَوْ نِفَاسُهَا إِلَّا فِي الْجِمَاعِ فَإِنَّهُ يُحْرَمُ)

Haram hukumnya berjima’ dengan kemaluan yang menjadi najis (مُتَنَجِّس) kecuali memang selalu keluar mani atau ketika air akan melemahkan zakar/kemaluannya.(وَيُحْرَمُ جِمَاعُ مُتَنَجِّسِ الذَّكَرِ إِلَّا إِنْ كَانَ سَلَسًا أَوْ اِعْتَادَ أَنَّ الْمَاءَ يُفَتِّرُ ذَكَرَهُ)

 

Posted by: tsdipura | May 30, 2020

Sebab-sebab Wajib Mandi

بسم الله الرحمن الرحيم

Sebab-sebab Wajib Mandi

Matan Safiinah an-Naja terkait sebab-sebab wajibnya mandi:

  فَصْلٌ: وَمُوْجِبَاتُ الْغُسْلٍ سِتَّةٌ: إِيْلَاجُ الْحَشَفَةُ فِي الْفَرْجِ, وَ خُرُوْجُ الْمَنِيِّ, وَالْحَيْضُ, وَالنِّفَاسُ, وَالْوِلَادَةُ, وَالْمَوْتُ.

Sebab-sebab[1] wajib mandi[2] ada enam: masuknya al-hasyafah ke farji[3], keluarnya mani[4], haid, nifas[5], melahirkan[6], dan kematian[7].


Catatan Kaki (dari buku Nail ar-Raja Syarh Safiinah an-Naja karya Ahmad bin Umar asy-Syatiri):

[1] [ Makna sebab wajibnya mandi]

Ahmad asy-Syatiri:”Bahwa sebab-sebab yang mewajibkan mandi besar adalah hal-hal yang dengan adanya salah satu dari enam hal itu, yaitu masuknya al-hasyafah ke kemaluan, keluarnya mani, haid, nifas, melahirkan, dan kematian, maka seseorang menjadi wajib mandi”

[2][Makna mandi besar]

Ahmad asy-Syatiri:”al-ghuslu () atau mandi besar secara bahasa artinya mengalirnya air terhadap sesuatu (سَيَلَانُ الْمَاءُ عَلَي الشَّيْءِ). Secara syar’I maknanya: mengalirnya air kepada seluruh tubuh dengan niyat khusus (سَيَلَانُ الْمَاءُ عَلَي جَمِيْعِ الْبَدَنِ بِنِيَّةٍ مَجْصُوْصَةٍ). ”

[3] [Sebab Pertama: Masuknya al-hasyafah ke farji]

Ahmad asy-Syatiri:” Bahwa sebab pertama yang mewajibkan mandi adalah masuknya al-hasyafah ke dalam farji. Termasuk al-hasyafah dalam makna hakiki maupun ditetapkan bagi orang yang kehilangan al-hasyafah,”

[Apa itu al-hasyafah?]

Ahmad asy-Syatiri (dari bagian tentang Syarat bersuci dengan batu): “Yang dimaksud dengan al-hasyafah (الحَشَفَةُ) adalah kepala zakar atau bagian kepala alat kelamin pria (رَأْسُ الذَّكَرُ).

[4] [Sebab Kedua: Keluarnya mani]

Ahmad asy-Syatiri:”Bahwa sebab kedua yang mewajibkan mandi adalah keluarnya mani hingga bagian luar dari kepala kemaluan pria (ظَاهِرُالْحَشَفَةِ مِنْ الذَّكَرِ) atau bagian depan kemaluan wanita yang masih perawan (ظَاهِرُ فَرْجِ الْبَكْرِ) atau apa yang muncul ketika duduk diatas kedua telapak kaki bagi wanita yang tidak perawan (مَا يَْدُوا عِنْدَ الْجُلُوْسِ عَلَي الْقَدَمَيْنِ مِنْ الثَّيِّبِ).

[Apa syarat mani yang menyebabkan wajib mandi?]

Ahmad asy-Syatiri:” Syarat dari keluarnya mani sehingga bisa mewajibkan mandi ada beberapa sebagai berikut:

  1. Mani yang keluar adalah mani orang itu sendiri.()
    1. Sehingga tidak mewajibkan mandi apabila mani yang keluar bukanlah mani dia sendiri. Hal ini misalnya pada wanita yang berhubungan, lalu mandi, tapi setelah itu keluar mani yang merupakan mani suaminya. Maka keluar mani tersebut tidak mewajibkannya mandi.
  2. Mani yang keluar adalah mani yang keluar pertama.
  3. Mani keluar dari jalannya yang biasa atau diakui (مِنْ طَرِيْقِهِ الْمُعْتَادِ). Bila tidak dari tempat keluar biasa bisa juga tetap menyebabkan wajib mandi Ketika:
    • Mani keluar dari tempat terbuka (مُنْفَتِحٍ) di bagian bawah tulang sulbi pria (صُلِبِ الرَّجُلِ) atau tulang dada wanita (تَرَاءِبُ الْمَرْءَةِ).

Bila mani tidak keluar dari bagian bawah sulbi dan taraa-ib maka tidak mewajibkan mandi. Bila mani keluar dari sulbi atau taraa-ib, Syamsuddin ar-Ramli berpendapat tetap mewajibkan sedangkan Ibnu Hajar al-Haitami tidak.

  • Jalan keluar yang awal terhalang (الأَصْلِيُّ مُنْسَدٌ)ز

Bila jalan keluar mani terhalang sejak lahir maka wajib mandi karena keluar mani dari badan secara mutlak  dari bagian manapun menurut Ibnu Hajar al-Haitami, sedangkan ar-Ramli berpendepat kecuali jika keluar dari lubang terbuka (المَنَافِذُ) pada tubuh maka tidak mewajibkan mandi.

  • Mani keluar dengan baik (مستحقم), bukan keluar karena ada penyakit (خَارِجٌ لِغَيْرِ عِلَّةٍ)

[Apa definisi mani dan hukumnya?]

Ahmad asy-Syatiri:” Berkata Imam an-Nawawi: ‘Mani bila berasal dari pria yang sehat maka ia adalah

  • air yang putih (أَبْيَضُ),
  • hangat (ثَخِيْنٌ),
  • keluar secara terpancar dalam beberapa dorongan (يَتَدَفَّقُ فِي حَالَ خُرُوْجِهِ دُفْعَةً بَعْدَ دُفْعَةٍ),
  • keluar dengan syahwat (يَخْرُجُ بِشَهْوَةٍ),
  • terasa kenikmatan dengan keluarnya (يُتَلَذَّذُ بِخُرُوْجِهِ),
  • keluarnya diikuti dengan rasa lelah (يَعْقُبُ خُرُوْجَهُ فُتُوْرٌ) ,
  • baunya:
    • ketika basah atau lembab (رَطْبًا) seperti bau pucuk pohon (كَرَاءِحَةِ طَلْعٍ) mirip dengan bau adonan tepung (قَرِيْبَةٌ مِنْ رَاءِحَةِ عَجِيْنٍ)
    • sedangkan Ketika kering baunya seperti bagian putih telur ayam (كَرَاءِحَةِ بَيَاضِبَيْضِ الدَّجَّاجِ).

Terkadang sebagian sifat diatas tidak ada meskipun itu tetap mani yang mewajibkan mandi, karena yang menentukan adalah keberadaan salah satu dari tiga kekhususan mani berikut:

  1. Keluar dengan syahwat dan disertai kelelahan setelahnya (الخُرُوْجُ بِشَهْوَةٍ مَعَ الْفُطُوْرُعَقِبَهُ)
  2. Baunya yang mirip dengan bau pucuk daun (كَرَاءِحَةِ طَلْعٍ)
  3. Keluar dengan memancar (الخُرُوْجُ بِتَدَفُقٍ).

Maka apabila terdapat salah satu dari tiga sifat diatas maka itu adalah mani, jika sama sekali tidak ada diantara sifat-sifat diatas maka itu bukanlah mani.

Adapun mani wanita adalah air yang kuning dan lembut (مَاءٌ أَصْفَرٌرَقِيْقٌ).’

Hukum mani adalah (wajib) bersuci dalam sifat atau keadaan bagaimanapun, meskipun ada sedikit darah.

[Apa definisi madzi?]

Ahmad asy-Syatiri:”Adapun Madzi (المَذْيُ) adalah cairan yang putih (الأَبْيَضُ), lembut (), lengket (اللَّزِجُ), keluar نetika ada syahwat namun keluar tanpa syahwatو pancaran, juga tidak diikuti dengan kelelahan (الخَارِجُ عِنْدَ الشَّهْوَةِ بِلَا شَهْوَةٍ وَ لَا دَفْقٍ وَلَا يُعْقَبُهُ فطُوْرٌ).”

[Apa definisi wadi?]

Ahmad asy-Syatiri:”Wadi adalah cairan yang putih (الأَبْيَضُ), hangat (ثَخِيْنٌ),  (الكَدِرُ), yang tidak memiliki bau (لَارَاءِحَةَ لَهُ), keluar setelah selesai kencing atau ketika mengangkat sesuatu yang berat (الخَارِجُ عَقِبَ الْبَوْلُ أَوْعِنْدَ حَمْلِ شَيْءٍ ثَقِيْلٍ). “

[Apa hukum dari madzi dan wadi?]

Ahmad asy-Syatiri:”Madzi dan wadi keduanya najis, membatalkan wudlu tapi tidak menyebabkan wajib mandi besar (نَجِسٌ نَاقِشٌ لِلْوُضُوْءِ غَيْرُمُوْجِبِ لِلْغُسْلِ).”

[5] [Sebab Ketiga dan Keempat: Haid dan Nifas]

Ahmad asy-Syatiri:” Bahwa sebab ketiga dan keempat dari hal-hal yang mewajibkan mandi adalah haid dan nifas, yaitu Ketika selesai haid dan nifas dan hendak melakukan amalan seperti sholat”

Maksudnya telah selesai haid and nifas dan hendak melakukan amalan yang harus dilakukan dalam keadaan suci seperti sholat maka menjadi wajib baginya untuk mandi.

[Definisi Haid]

Ahmad asy-Syatiri (dari bagian Tanda-tanda Baligh):” Secara Bahasa haid (الحَيْدُ) artinya as-sayalaan (السَيَلَان) atau aliran. Sedangkan secara syar’i haid adalah darah thobi’at wanita yang keluar dari bagian ujung Rahim wanita dalam keadaan sehat dalam waktu-waktu tertentu (دَمُ جِبِلَّةٍ يَخْرُجُ مِنْ أَقْصَي رَحِمِ الْمَرْأَةِ عَلَي سَبِيْلِ الصِّحَّةِ فِي أَوْقَاتٍ مَخْصُوْصَةٍ).”

[Definisi Nifas]

Ahmad asy-Syatiri: “ Nifas adalah darah yang keluar setelah melahirkan. Dinamakan nifas karena keluarnya setelah ‘nafs’ (الدَّمُ الْخَارِجُ عَقِبَ الْوِلَادَةِ سُمِيَ بِذَلِكَ لِخُرُوْجِهِ بَعْدَ نَفْسٍ)”

[6] [Sebab Kelima: Melahirkan]

Ahmad asy-Syatiri:”Bahwa sebab kelima yang menyebabkan wajib mandi adalah keluarnya anak meskipun tanpa kelembaban (رُطُوْبَةٌ) atau gumpalan darah (عَلَقَةٌ), atau segumpal daging (مُضْغَةٌ) dimana al-qaabilah (القَابِلَةُ) menyebutnya sebagai asal manusia (أَصْلث ادَمِيٍّ). Al-qaabilah (القَابِلَةُ) adalah wanita yang membantu kelahiran anak(المَرْأَةُ الَّتِي تَأْخُذُ الْوَلَدَ عِنْدَ الْوِلَادَةِ).

[7] [Sebab Keenam: Kematian]

Ahmad asy-Syatiri: “Bahwa sebab keenam yang mewajibkan mandi adalah kematian seorang muslim kecuali yang mati syahid (مَوْتُ الْمُسْلِمِ غَيْرِ الشَّهِيْدِ).

Adapun bayi yang meninggal karena keguguran (سِقْطًا) dan tidak tampak padanya tanda-tanda kehidupan (لَمْ يَظْهَرْ فِيْهِ أَمَارَاتُ الْحَيَاةِ), jika telah lewat usia kandungan empat bulan maka wajib dimandikan. Memandikannya adalah fardlu kifayah bagi kaum muslimin.”

[Definisi Kematian]

Ahmad asy-Syatiri:” Kematian adalah berpisahnya ruh dari jasad (المَوْتُ مُفَارَقَةُ الْرُّوْحُ الْجَسَدَ)”

الحمد لله و الصلاة والسلام علي رسول الله


 

Posted by: tsdipura | May 29, 2020

Jenis dan Hukum Air

بسمالله الرحمن الرحيم

Jenis dan Hukum Air

Matan Safiinah an-Naja terkait air dari sisi banyak atau sedikit:

  فَصْلٌ: المَاءُ قَلِيْلٌ وَكَثِيْرٌ: القَلِيْلُ مَا دُوْنَ الْقُلَّتَيْنٍ, وَالْكَثِيْرُ قُلَّتَيْنٍ فَأَكْثَرُ. وَالْقَلِيْلُ يَتَنَجَّسُ بِوُقُوْعِ النَّجَاسَةُ فِيْهِ وَإِنْ لَمْ يَتَغَيَّرْ, وَالْكَثِيْرُلَا يَتَنَجَّسُ إِلًّا إِذَا تَغَيَّرَ طَعْمُهُ أَوْ لَوْنُهُ أَوْ رِيْحُهُ

Air[1] terbagi menjadi dua[2] yaitu air yang sedikit dan yang banyak: Air yang sedikit adalah yang kurang dari dua kulah, dan air yang banyak mencapai dua kulah atau lebih. Air yang sedikit menjadi najis dengan masuknya najis meskipun air itu tidak berubah[3]. Sedangkan air yang banyak tidak menjadi najis kecuali jika berubah rasanya, warnanya, dan baunya[4].


ِCatatan Kaki (dari Nail ar-Raja syarh Safiinah an-Naja karya Ahmad bin Umar asy-Syatiri):

[1] [Apa itu ‘air’]

Ahmad asy-Syatiri:”Sesuatu yang lembut transparan, memiliki warna sesuai wadahnya, Allah menciptakan kenikmatan hilangnya dahaga ketika meminumnya (جَوْهَرٌ لَطِيْفٌ شَفَّافٌ يَتَلَوَّنُ بِلَوْنٍ إِنَاءِهِ يَخْلُقُ اللَهُ الرِّيَّ عِنْدَ تَنَاوُلِهِ).”

[2] [Pembagian air secara hukum, dan batas ukurannya ?]

Ahmad asy-Syatiri:”Bahwa air secara hukum terbagi kedalam dua jenis yaitu air yang sedikit (قَلِيْلًا) dan air yang banyak (كَثِيْرًا). Air yang sedikit adalah air yang kurang dari dua kulah syar’i dan memiliki hukum sendiri. Sedangkan air yang banyak adalah air yang melebihi dua kulah atau lebih yang juga memiliki hukum sendiri.”

[Apa itu ‘kulah’ dan ukurannya?]

Ahmad asy-Syatiri:”al-kullataan (الكُلَّتَانُ) secara bahasa artinya dua wadah air yang besar (gentong). Secara syar’i: air dengan volume kira-kira 500 ritel Baghdad (kota masyhur di Iraq), atau kira-kira 562 ritel Tariim (kota di Yaman). Atau air dengan ukuran wadah  berbetuk kotak dengan tinggi, lebar, dan kedalaman satu seperempat hasta, atau bila berbentuk silinder maka dengan diameter satu hasta dan kedalaman satu setengah hasta. Ukurang hasta yang digunakan adalah hasta dari lengan orang umumnya (اليَدُّ المُعْتَدِلُ) yang tidak terlalu pendek atau terlalu panjang.”

Dr. Labib Najib Abdullah:”Satu hasta sekitar 48cm, sehingga satu seperempat hasta sekitar 60cm”.

[3] [Hukum dari air yang sedikit]

Ahmad asy-Syatiri:” Bahwa hukum air yang sedikit adalah air tersebut akan menjadi najis karena bersentuhan dengan najis meskipun air tersebut tidak berubah. Hal ini apabila najis yang dimaksud bukanlah najis yang dimaafkan (مَعْفُوًّا) dan bukan pada kondisi dimana air yang tumpah pada najis (وَارِدًا).

Najis-najis yang dimaafkan misalnya:

  • Najis yang tidak terlihat secara kasat mata, yaitu oleh mata biasa. Hal ini secara mutlak untuk semua najis menurut Syamsuddin ar-Ramli, sementara Ibnu Hajar al-Haitami berpendapat hanya berlaku untuk najis yang bukan najis berat () yaitu najis dari babi atau anjing.”
  • Bangkai dari hewan yang tidak mengalir darahnya apabila dicabut/dibelah sebagian anggota tubuhnya ketika masih hidup. Misalnya kecoa atau yang lebih kecil lagi.

Dimaafkannya najis-najis diatas dengan syarat (لَكِنْ الْعَفْوَ عَنْهَا ةشرُوْطٌ:):

  • Tidak merubah air yang telah tercampur najis-najis yang telah dimaafkan diatas (بِأَنْ لَا تُغَيِّرَ مَا وَقَعَتْ فِيْهِ).
  • Bangkai hewan diatas tidak dimasukkan (secara sengaja) ke dalam air setelah matinya (أَنْ لَا تُطْرَهُ بَعْدَ مَوْتِهَا). Kecuali bangkai itu masuk ke air karena:
    • Angin atau hewan lain (إِنْ كَانَ الطَّارِحُ لَهَا رِيحًا أَوْ بَهِيْمَةً),
    • atau juga dimasukkan oleh anak kecil yang belum tamyiz menurut al-Khatib asy-Syirbini (قَالَ اْلخَطِيْبُ: أَوْ غَيْرُ مُمَيِّزٍ).

Air yang tumpah pada najis (وَارِدًا عَلَي النَّجَاسَةِ) tidak menjadi najis, kecuali:

  • Air yang tumpah itu berubah (إِنْ تَغَي{َرَ). Bila air itu tidak berubah maka tetap suci.
  • Atau bertambah beratnya karena bercampur dengan najis (أَوْزَادَ وَزْنُهُ بِسَبَبِ مَا خَالَطَهُ مِنْ النَّجَاسَةِ). Bila air itu tidak bertambah beratnya maka tidak najis.
  • Atau tempat (yang ada najis) dimana air menetes itu tidak menjadi suci (أَوْ لَمْ يَطْهُرْ الْمَحَلَّ الذِي وَرَدَ عَلَيْهِ). Bila tempat/sesuatu yang ditumpahi menjadi suci maka air yang tumpah itu tetap suci.

[Bagaimana hukum cairan yang lain?]

Ahmad asy-Syatiri:”Hukum cairan-cairan yang lain baik cairan itu sedikit ataupun banyak maka hukumnya sama dengan hukum air yang sedikit kecuali. Kecuali pada cairan-cairan yang lain ketika cairan itu tumpah pada sesuatu yang najis hukumnya tidak dibedakan dengan kondisi cairan itu pada umumnya. (artinya tidak ada pengecualian untuk kondisi cairan yang tumpah seperti pada kasus air yang sedikit).”

Misalnya susu maka hukumnya sama dengan air sedikit meskipun jumlah susu itu banyak. Dan Ketika susu itu tumpah pada sesuatu yang najis maka menjadi najis tanpa pengecualian.

[4] [Hukum air yang banyak]

Ahmad asy-Syatiri:”Bahwa hukum air yang banyak adalah air itu tidak menjadi najis hanya karena bersentuhan dengan najis, namun menjadi najis apabila berubah rasa, warna, dan baunya meskipun perubahan yang kecil. Dan hal itu sama saja baik najisnya merupakan najis yang dimaafkan (النًّجَاسَتُ الْمَعْفُوُّ) ataupun bukan.”

[Bagaimana bila perubahan pada air hilang?]

Ahmad asy-Syatiri:”Apabila perubahan pada air yang banyak (gara-gara terkena sesuatu yg najis) terjadi dengan sendirinya atau dengan penambahan air meskipun air yang ditambahkan adalah air musta’mal atau najis, maka air yang banyak itu menjadi suci. Namun (apabila hilangnya perubahan) karena penambahan bahan lainnya seperti misik dan za’faran (dua jenis parfum yang wanginya kuat), maka air itu tetap najis.”

Proses penambahan air untuk mensucikan air yang telah najis disebut mukaatsarah (مُكَاثَرَةُ).

[Bila tercampur najis namun warna, rasa, dan bau nya sama dengan air?]

Ahmad asy-Syatiri:” Bila masuk ke dalam air-yang-banyak najis yang sifat-sifatnya sama dengan air yaitu rasa, warna, dan bau nya sama dengan air, seperti air kencing yang tidak ada baunya maka dianggap/ditetapkan (قُدِّرَتْ) seperti warna tinta (لَوْنِ الحِبْرِ), wangi misik (رِيْحِ الْمِسْكِ), dan rasa cuka (طَعْمِ الْخَلِّ). Jika terjadi perubahan ( فَإِنْ تَغَيُّرَتَقْدِيْرًا)   karena sifat-sifat yang ditetapkan tadi maka air yang banyak itu menjadi najis, jika tidak maka air itu suci.”

[Bila bercampur sesuatu yang suci pada air?]

Ahmad asy-Syatiri:” Bila bercampur ke dalam air, baik air-banyak maupun air-sedikit, maka ada beberapa kemungkinan:

  1. Apabila yang bercampur adalah sesuatu yang suci (طَاهِرٌ), bercampur tanpa bisa dipisahkan (مُخَالِطًا) dan air dapat terbebas darinya (يَسْتَغْنِي عَنْهُ) seperti parfum za’faran atau air bunga dan terjadi perubahan yang signifikan (تَغَيُّرًا كَثِيْرًا) pada air sehingga menghilangkan penamaan air secara mutlak (بِحَيْثُ يُسْلَبُ اسْمُهُ) maka tidak boleh bersuci menggunakan air tersebut meskipun air itu suci.

Dalam istilah lain, air ini hukumnya suci tapi tidak mensucikan.

  1. Apabila yang bercampur adalah sesuatu yang suci (طَاهِرٌ) dengan tiga kemungkinan kondisi berikut:
    1. bercampur secara mujaawir (مُجَاوِرًا) yang masih dapat dipisahkan seperti batang atau dahan pohon.
    2. tidak dapat dihindari (لَا يَسْتَغْنِي المَاءُ عَنْهُ) seperti sesuatu yang bercampur pada tempat penyimpanan (مَقَرُّهُ) atau tempat mengalir (مَمَرُّهُ),
    3. Atau perubahan yang terjadi perubahan yang sedikit sehingga tidak menghilangkan penamaan air secara mutlak (كَانَ التَّغَيُّرُيَسِيْرًا لَا يُسْلَبُ الْاِسْمُ),

maka air tetap suci dan boleh bersuci dengan air tersebut.

  1. Apabila yang bercampur tersebut suci (طَاهِرٌ) dan memiliki sifat-sifat yang sama dengan air (warna, rasa, dan bau) seperti air bunga yang telah hilang wanginya (مَاءُ الْوَرْدِ الْمُنْقَطِعُ الرَّاءِحَتُهُ), maka ditetapkan dengan sifat-sifat pertengahan seperti warna sirup (لَوْنِ الْعَصِيْرِ), rasa buah delima (طَعْمِ الرُّمَّانَ), dan wangi yang lembut (رِيْحِ الَّادِنِ). Jika dengan sifat yang ditetapkan itu (diperkirakan) terjadi perubahan(فَإِنْ تَغَيُّرَتَقْدِيْرًا)  dengan sifat-sifat yang menyebabkan hilangnya penamaan air secara mutlak maka tidak boleh bersuci dengan air tersebut, apabila tidak terjadi hal itu maka boleh bersuci dengan air tersebut.

 الحمدلله و الصلاة و السلام علي رسول الله


 

Posted by: tsdipura | May 28, 2020

Syarat Sah Istinja dengan Batu

بسم الله الرحمن ال حيم

Syarat Sah Istinja dengan Batu (Istijmar)

Matan Safiinah an-Naja terkait syarat bersuci dengan batu:

  فَصْلٌ: شُرُوْطُ إِجْزَاءِ الْحَجَرِ ثَمَانِيَةٌ: أَنْ يَكُوْنَ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ, وَ أَنْ يُنْقِيَ الْمَحَلَّ, وَ أَنْ لَّا يَجِفَّ النَّجَسُ, وَ أَنْ لَا يَنْتَقِلَ, وَأَنْ لَا يَطْرَأَ عَلَيْهِ آخَرُ, وَأَلَّايُجَاوِزَصَفْحَتَهُ, وَحَشَفَتَهُ, وَ أَنْ لَايُصِيْبَهُ مَاءٌ, وَ أَنْ تَكُونَ الأَحْجَارُ طَاهِرَةً

Syarat[1] sahnya penggunaan batu[2] untuk istinja[3] ada delapan[4]:

  1. Menggunakan tiga batu[5]
  2. Membersihkan tempat keluar najis.[6]
  3. Najisnya belum kering.[7]
  4. Najisnya belum berpindah tempat.[8]
  5. Najisnya tidak bercampur dengan sesuatu yang lain.[9]
  6. Najisnya tidak keluar dari bagian ujung kemaluan.[10]
  7. Najisnya tidak terkena air[11]
  8. Batu dalam kondisi suci[12]

Catatan Kaki (diambil dari buku Nail ar-Raja karya Ahmad bin Umar asy-Syatiri)

[1] [Apa definisi ‘syarat’?]

Ahmad asy-Syatiri:”asy-Syuruut (الشُّرُوْطُ) adalah jamak dari asy-syartu (الشَّرْطُ). Secara Bahasa artinya al-‘alaamah (العَلَامَةُ) atau tanda. Secara syar’i: apa yang karena ketiadaannya menjadikan sesuatu tidak ada atau tidak berlaku, namun keberadaannya tidak menyebabkan sesuatu ada atau berlaku juga tidak menyebabkan tidak ada atau tidak berlaku (مَا يَلْزَمُ مِنْ عَدَمِهِ الْعَدَمُ وَلَايَلْزَمُ مِنْ وُجُوْدِهِ وُجُوْدٌ وَلَاعَدَمٌ لِذَاتِهِ).”

Sehingga, misalnya salah satu syarat istinja tidak ada atau tidak terpenuhi maka istinja yang dilakukan tidak sah atau dianggap tidak ada. Namun, ketika pun ada salah satu syarat istinja, tidak serta merta istinja tersebut sah karena bisa jadi ada syarat lain yang tidak ada atau tidak terpenuhi.

[2][Apa yang dimaksud dengan ‘batu’?]

Ahmad asy-Syatiri:”Yang dimaksud (الحَجَرُ) atau batu dalam istinja tidak terbatas kepada batu dalam artian khusus tapi lebih umum yaitu setiap yang memenuhi syarat berikut:

  1. padat/kering (جَامِدٌ),
  2. suci (طَاهِرٌ),
  3. dapat mengambil najis (قَالِعٌ), dan
  4. bukan sesuatu yang terhormat (غَيْرُمُحْتَرَمٍ).

Maka tidak termasuk dalam istilah ‘batu’ dalam bab istinja sesuatu yang najis, tidak dapat mengambil najis misalnya karena permukaannya yang mulus atau juga permukaannya lembek. Juga bukan sesuatu yang terhormat seperti buku ilmu syar’i dan ilmu-ilmu alatnya.”

Contoh bahan yang tidak dapat mengambil najis (غَيْرُ قَالِعٍ) adalah plastik dan kaca,berbeda dengan batu, kain, atau tisu yang dapat mengambil najis (قَالِعٌ).

[3] [Apa yang dimaksud dengan Istinja?]

Ahmad asy-Syatiri:” Al-istinja () secara bahasa artinya menghilangkan (القَطْعُ). Sedangkan secara syar’i: menghilangkan dari najis yang kotor dari tempat keluarnya najis dengan air atau batu (إِزَالَةُ الخَارِج َالنَّجِسَ الْمُلَوِّثَ مِنْ الفَرْجِ عَنْ الْفَرْجِ بِمَاءٍ أَوْحَجَرٍ).

Hukum istinja:

  • wajib dari semua najis yang mengotori,
  • sunnah apabila yang keluar berupa padatan(جَامِدٌ),
  • makruh untuk istinja dari keluar angin,
  • mubah untuk istinja dari keringat, dan
  • haram apabila istinja menggunakan sesuatu yang haram (seperti kain yang didapat dari mencuri) atau barang yang terhormat (seperti buku tentang ilmu islam).”

[Jenis dan Tingkatan Istinja]

Ahmad asy-Syatiri:”Cara istinja yang terbaik adalah dengan menggabungkan penggunaan air dan batu dimulai dengan batu lalu diikuti dengan air. Pada kondisi seperti itu maka batu yang digunakan cukup dengan apapun yang padat (جَامِدٌ) bahkan apabila batu itu najis sekalipun. Jika ingin memilih salah satunya, maka yang lebih baik adalah istinja dengan menggunakan air karena air bisa menghilangkan najis dan bekasnya. Jika telah istinja menggunakan air maka tidak disunnahkan untuk dilanjutkan dengan menggunakan batu karena hal itu tidak ada manfaatnya.”

[4] [Delapan syarat sahnya penggunaan batu untuk istinja]

Ahmad asy-Syatiri:”Maknanya bahwa syarat sahnya ber-istinja dengan batu (dengan definisi batu seperti diatas) ,ketika hanya ber-istinja dengan batu tanpa menggunakan air, ada delapan.”

[5] [Syarat pertama: menggunakan tiga batu]

Ahmad asy-Syatiri:”Bahwa syarat pertama sahnya ber-istinja dengan batu adalah beristinja dengan tiga usapan batu, tidak kurang dari itu. Maka berapa jumlah batu bukanlah hal yang mengikat. Meskipun dengan satu batu saja namun ia mengusap dengan batu itu dari tiga sisi yang berbeda maka hal itu sudah cukup. Atau melakukan tiga usapan dengan satu batu pada sisi yang sama namun setiap selesai usapan terlebih dahulu dicuci dan dikeringkan maka hal itu sudah cukup.”

[6] [Syarat Kedua: Istinja yang dilakukan bisa membersihkan tempat keluar najis]

Ahmad asy-Syatiri:” Makna syarat kedua ini bahwa sahnya istinja dengan batu adalah seseorang yang beristinja harus membersihkan tempat keluar najis sehingga tidak tersisa najis tersebut kecuali serpihan yang sangat sedikit. Jika dengan tiga usapan yang wajib belum bersih maka wajib untuk menambah sehingga tempat keluar najis bisa bersih atau suci.”

[Apa tempat keluar najis, ash-shofhah dan al-hasyafah?]

Yang dimaksud dengan al-mahallu (المَحَلُّ) atau tempat keluar najis adalah ash-shafhah atau al-hasyafah, atau bagian depan alat kelamin wanita. Definisi ash-Shofhatu (الصَفْحَةُ) adalah bagian dubur dan pantat yang berimpit ketika berdiri ( ما يَنْضَّمُ عِنْدَ الْقِيَامِ), sedangkan al-hasyafah (الحَشَفَةُ) adalah kepala zakar atau bagian kepala alat kelamin pria (رَأْسُ الذَّكَرُ)

[7] [Syarat Ketiga: Najis belum kering]

Ahmad asy-Syatiri:”Bahwa syarat ketiga dari sahnya istinja dengan batu adalah najis yang keluar tidak kering baik sebagian atau seluruhnya. Karena dengan itu maka batu tidak dapat membersihkan najis dari tempat keluarnya sehingga najis harus dalam kondisi basah yang bisa dibersihkan oleh batu.”

[8] [Syarat Keempat: Najis belum berpindah]

Ahmad asy-Syatiri:”Bahwa syarat keempat dari sahnya istinja dengan batu adalah najis harus belum berpindah dari tempat awalnya ketika keluar, meskipun masih dalam cakupan ash-shofhah dan al-hasyafah. ”

[9] [Syarat Kelima: Najis belum bercampur dengan yang lain]

Ahmad asy-Syatiri:”Bahwa syarat kelima dari sahnya istinja dengan batu adalah najis yang keluar belum bercampur dengan yang lain kecuali keringat. Jika telah bercampur meskipun setelah mulai usapan atau istijmar maka wajib menggunakan air. Baik yang bercampur adalah sesuatu yang basah seperti air atau air kencing ataupun sesuatu yang kering seperti kotoran, bahkan juga sesuatu yang suci seperti tanah. Namun ar-Ramli tidak sepakat terkait bercampurnya sesuatu yang kering dan suci karena hal itu tidak memberikan mudharat. Maksudnya ar-Ramli berpendapat bahwa bercampurnya sesuatu yang kering dan suci maka masih sah istinja nya”

[10][Syarat Keenam: Najis tidak keluar dari ash-shofhah dan al-hasyafah]

 Ahmad asy-Syatiri:”Bahwa syarat keenam dari sahnya istinja dengan batu adalah kotoran  (الغَاءِطُ) tidak keluar dari daerah ash-shafhah nya orang yang beristinja, dan air kencingnya tidak keluar dari al-hasyafah nya bagi pria. Sedangkan bagi wanita ada tambahan lain yaitu air kencing tidak masuk ke vagina (أَنْ لَا يَدْخُلَ مَدْخَلَ الْذَكَرِ فِي الْأُىْثَي)”

[11] [Syarat Ketujuh: Najisnya tidak terkena air]

Ahmad asy-Syatiri:”Bahwa syarat ketujuh dari sahnya istinja dengan batu adalah najis yang keluar tidak terkena air meskipun untuk tujuan thoharah

[12][Syarat Kedelapan: Batu yang digunakan dalam keadaan suci]

Ahmad asy-Syatiri:”Bahwa syarat kedelapna dari sahnya istinja dengan batu adalah batu yang digunakan harus dalam keadaan suci. Maka tidak sah istinja dengan batu yang najis (seperti kotoran hewan yang kering atau telah terkena najis (المتنجسة) misalnya batu yang sudah terkena air kencing”

الحمدلله والصلاة والسلام علي رسول الله


 

Older Posts »

Categories