Posted by: tsdipura | May 28, 2020

Syarat Sah Istinja dengan Batu

بسم الله الرحمن ال حيم

Syarat Sah Istinja dengan Batu (Istijmar)

Matan Safiinah an-Naja terkait syarat bersuci dengan batu:

  فَصْلٌ: شُرُوْطُ إِجْزَاءِ الْحَجَرِ ثَمَانِيَةٌ: أَنْ يَكُوْنَ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ, وَ أَنْ يُنْقِيَ الْمَحَلَّ, وَ أَنْ لَّا يَجِفَّ النَّجَسُ, وَ أَنْ لَا يَنْتَقِلَ, وَأَنْ لَا يَطْرَأَ عَلَيْهِ آخَرُ, وَأَلَّايُجَاوِزَصَفْحَتَهُ, وَحَشَفَتَهُ, وَ أَنْ لَايُصِيْبَهُ مَاءٌ, وَ أَنْ تَكُونَ الأَحْجَارُ طَاهِرَةً

Syarat[1] sahnya penggunaan batu[2] untuk istinja[3] ada delapan[4]:

  1. Menggunakan tiga batu[5]
  2. Membersihkan tempat keluar najis.[6]
  3. Najisnya belum kering.[7]
  4. Najisnya belum berpindah tempat.[8]
  5. Najisnya tidak bercampur dengan sesuatu yang lain.[9]
  6. Najisnya tidak keluar dari bagian ujung kemaluan.[10]
  7. Najisnya tidak terkena air[11]
  8. Batu dalam kondisi suci[12]

Catatan Kaki (diambil dari buku Nail ar-Raja karya Ahmad bin Umar asy-Syatiri)

[1] [Apa definisi ‘syarat’?]

Ahmad asy-Syatiri:”asy-Syuruut (الشُّرُوْطُ) adalah jamak dari asy-syartu (الشَّرْطُ). Secara Bahasa artinya al-‘alaamah (العَلَامَةُ) atau tanda. Secara syar’i: apa yang karena ketiadaannya menjadikan sesuatu tidak ada atau tidak berlaku, namun keberadaannya tidak menyebabkan sesuatu ada atau berlaku juga tidak menyebabkan tidak ada atau tidak berlaku (مَا يَلْزَمُ مِنْ عَدَمِهِ الْعَدَمُ وَلَايَلْزَمُ مِنْ وُجُوْدِهِ وُجُوْدٌ وَلَاعَدَمٌ لِذَاتِهِ).”

Sehingga, misalnya salah satu syarat istinja tidak ada atau tidak terpenuhi maka istinja yang dilakukan tidak sah atau dianggap tidak ada. Namun, ketika pun ada salah satu syarat istinja, tidak serta merta istinja tersebut sah karena bisa jadi ada syarat lain yang tidak ada atau tidak terpenuhi.

[2][Apa yang dimaksud dengan ‘batu’?]

Ahmad asy-Syatiri:”Yang dimaksud (الحَجَرُ) atau batu dalam istinja tidak terbatas kepada batu dalam artian khusus tapi lebih umum yaitu setiap yang memenuhi syarat berikut:

  1. padat/kering (جَامِدٌ),
  2. suci (طَاهِرٌ),
  3. dapat mengambil najis (قَالِعٌ), dan
  4. bukan sesuatu yang terhormat (غَيْرُمُحْتَرَمٍ).

Maka tidak termasuk dalam istilah ‘batu’ dalam bab istinja sesuatu yang najis, tidak dapat mengambil najis misalnya karena permukaannya yang mulus atau juga permukaannya lembek. Juga bukan sesuatu yang terhormat seperti buku ilmu syar’i dan ilmu-ilmu alatnya.”

Contoh bahan yang tidak dapat mengambil najis (غَيْرُ قَالِعٍ) adalah plastik dan kaca,berbeda dengan batu, kain, atau tisu yang dapat mengambil najis (قَالِعٌ).

[3] [Apa yang dimaksud dengan Istinja?]

Ahmad asy-Syatiri:” Al-istinja () secara bahasa artinya menghilangkan (القَطْعُ). Sedangkan secara syar’i: menghilangkan dari najis yang kotor dari tempat keluarnya najis dengan air atau batu (إِزَالَةُ الخَارِج َالنَّجِسَ الْمُلَوِّثَ مِنْ الفَرْجِ عَنْ الْفَرْجِ بِمَاءٍ أَوْحَجَرٍ).

Hukum istinja:

  • wajib dari semua najis yang mengotori,
  • sunnah apabila yang keluar berupa padatan(جَامِدٌ),
  • makruh untuk istinja dari keluar angin,
  • mubah untuk istinja dari keringat, dan
  • haram apabila istinja menggunakan sesuatu yang haram (seperti kain yang didapat dari mencuri) atau barang yang terhormat (seperti buku tentang ilmu islam).”

[Jenis dan Tingkatan Istinja]

Ahmad asy-Syatiri:”Cara istinja yang terbaik adalah dengan menggabungkan penggunaan air dan batu dimulai dengan batu lalu diikuti dengan air. Pada kondisi seperti itu maka batu yang digunakan cukup dengan apapun yang padat (جَامِدٌ) bahkan apabila batu itu najis sekalipun. Jika ingin memilih salah satunya, maka yang lebih baik adalah istinja dengan menggunakan air karena air bisa menghilangkan najis dan bekasnya. Jika telah istinja menggunakan air maka tidak disunnahkan untuk dilanjutkan dengan menggunakan batu karena hal itu tidak ada manfaatnya.”

[4] [Delapan syarat sahnya penggunaan batu untuk istinja]

Ahmad asy-Syatiri:”Maknanya bahwa syarat sahnya ber-istinja dengan batu (dengan definisi batu seperti diatas) ,ketika hanya ber-istinja dengan batu tanpa menggunakan air, ada delapan.”

[5] [Syarat pertama: menggunakan tiga batu]

Ahmad asy-Syatiri:”Bahwa syarat pertama sahnya ber-istinja dengan batu adalah beristinja dengan tiga usapan batu, tidak kurang dari itu. Maka berapa jumlah batu bukanlah hal yang mengikat. Meskipun dengan satu batu saja namun ia mengusap dengan batu itu dari tiga sisi yang berbeda maka hal itu sudah cukup. Atau melakukan tiga usapan dengan satu batu pada sisi yang sama namun setiap selesai usapan terlebih dahulu dicuci dan dikeringkan maka hal itu sudah cukup.”

[6] [Syarat Kedua: Istinja yang dilakukan bisa membersihkan tempat keluar najis]

Ahmad asy-Syatiri:” Makna syarat kedua ini bahwa sahnya istinja dengan batu adalah seseorang yang beristinja harus membersihkan tempat keluar najis sehingga tidak tersisa najis tersebut kecuali serpihan yang sangat sedikit. Jika dengan tiga usapan yang wajib belum bersih maka wajib untuk menambah sehingga tempat keluar najis bisa bersih atau suci.”

[Apa tempat keluar najis, ash-shofhah dan al-hasyafah?]

Yang dimaksud dengan al-mahallu (المَحَلُّ) atau tempat keluar najis adalah ash-shafhah atau al-hasyafah, atau bagian depan alat kelamin wanita. Definisi ash-Shofhatu (الصَفْحَةُ) adalah bagian dubur dan pantat yang berimpit ketika berdiri ( ما يَنْضَّمُ عِنْدَ الْقِيَامِ), sedangkan al-hasyafah (الحَشَفَةُ) adalah kepala zakar atau bagian kepala alat kelamin pria (رَأْسُ الذَّكَرُ)

[7] [Syarat Ketiga: Najis belum kering]

Ahmad asy-Syatiri:”Bahwa syarat ketiga dari sahnya istinja dengan batu adalah najis yang keluar tidak kering baik sebagian atau seluruhnya. Karena dengan itu maka batu tidak dapat membersihkan najis dari tempat keluarnya sehingga najis harus dalam kondisi basah yang bisa dibersihkan oleh batu.”

[8] [Syarat Keempat: Najis belum berpindah]

Ahmad asy-Syatiri:”Bahwa syarat keempat dari sahnya istinja dengan batu adalah najis harus belum berpindah dari tempat awalnya ketika keluar, meskipun masih dalam cakupan ash-shofhah dan al-hasyafah. ”

[9] [Syarat Kelima: Najis belum bercampur dengan yang lain]

Ahmad asy-Syatiri:”Bahwa syarat kelima dari sahnya istinja dengan batu adalah najis yang keluar belum bercampur dengan yang lain kecuali keringat. Jika telah bercampur meskipun setelah mulai usapan atau istijmar maka wajib menggunakan air. Baik yang bercampur adalah sesuatu yang basah seperti air atau air kencing ataupun sesuatu yang kering seperti kotoran, bahkan juga sesuatu yang suci seperti tanah. Namun ar-Ramli tidak sepakat terkait bercampurnya sesuatu yang kering dan suci karena hal itu tidak memberikan mudharat. Maksudnya ar-Ramli berpendapat bahwa bercampurnya sesuatu yang kering dan suci maka masih sah istinja nya”

[10][Syarat Keenam: Najis tidak keluar dari ash-shofhah dan al-hasyafah]

 Ahmad asy-Syatiri:”Bahwa syarat keenam dari sahnya istinja dengan batu adalah kotoran  (الغَاءِطُ) tidak keluar dari daerah ash-shafhah nya orang yang beristinja, dan air kencingnya tidak keluar dari al-hasyafah nya bagi pria. Sedangkan bagi wanita ada tambahan lain yaitu air kencing tidak masuk ke vagina (أَنْ لَا يَدْخُلَ مَدْخَلَ الْذَكَرِ فِي الْأُىْثَي)”

[11] [Syarat Ketujuh: Najisnya tidak terkena air]

Ahmad asy-Syatiri:”Bahwa syarat ketujuh dari sahnya istinja dengan batu adalah najis yang keluar tidak terkena air meskipun untuk tujuan thoharah

[12][Syarat Kedelapan: Batu yang digunakan dalam keadaan suci]

Ahmad asy-Syatiri:”Bahwa syarat kedelapna dari sahnya istinja dengan batu adalah batu yang digunakan harus dalam keadaan suci. Maka tidak sah istinja dengan batu yang najis (seperti kotoran hewan yang kering atau telah terkena najis (المتنجسة) misalnya batu yang sudah terkena air kencing”

الحمدلله والصلاة والسلام علي رسول الله


 


Leave a comment

Categories