Posted by: tsdipura | September 5, 2021

Mengejar Cinta Allah dengan Zuhud

Pada hadits ke 31 dalam kumpulan hadits al-Arba’in, Imam Nawawi memilih hadits yang memberi resep ilahi untuk mendapatkan cinta Allah, berikut haditsnya:

عن أبي العبَّاسِ سَهْلِ بنِ سَعْدٍ الساعديِّ رَضِي اللهُ عَنْهُ قالَ: (جاءَ رَجُلٌ إلى النَّبيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقالَ: يا رسولَ اللهِ، دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ إِذَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِيَ اللهُ وأَحبَّنِيَ النَّاسُ. فَقَالَ:

{ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللهُ، وَازْهَدْ فِيمَا عِنْدَ النَّاسِ يُحِبَّكَ النَّاسُ}.

حديثٌ حَسَنٌ رواهُ ابنُ ماجَه وغيرُهُ بأسانيدَ حَسنةٍ.

Dari Abu al-Abbas Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi radhiyallahu’anhu, ia berkata: ‘Seorang pria datang kepada Rasuululllah shallallahu’alaihiwasallam dan bertanya: ‘Wahai Rasulallah, tunjukkan kepadaku amalan yang bila aku mengamalkannya maka Allah akan mencintai saya dan manusia juga akan mencintai saya’, maka Rasuulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda:

“Zuhudlah di dunia niscaya Allah akan mencintaimu, dan zuhudlah terhadap apa yang dimiliki manusia, niscaya manusia mencintaimu”

[Hadits hasan shohih diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dan selainnya.]

Informasi nubuwwah dari hadits ini sangatlah penting bagi kita karena cinta Allah adalah hal terpenting yang kita kejar dan impikan. Maka penting bagi kita untuk memahami Zuhud berusaha melaksanakannya atau sebaliknya menjaga agar kita tidak keluar dari lingkup zuhud.

Imam Nawawi dalam syarah al-Arba’in ketika terhadap hadits diatas menjelaskan makna zuhud berikut

الزهد: ترك ما لا يحتاج إليه من الدنيا،و إن كان حلالاً،و الاقتصار على الكفاية،

والورع: ترك الشبهات

Zuhud adalah meninggalkan apa yang tidak ia perlukan dari dunia, meskipun hal itu halal, dan mencukupkan diri dengan kecukupan. Sedangkan wara’ adalah meninggalkan hal-hal yang syubhat.

Kata kunci penting dari definisi yang diberikan Imam Nawawi terhadap zuhud adalah ‘apa yang tidak ia perlukan’ ( ما لا يحتاج إليه).

Untuk melengkapi maksud dari hal ini, mari kita coba lengkapi dengan penjelasan ulama besar lainnya yaitu Ibnu Hajar al-Haitami ketika juga memberi penjelasan hadits ini dalam karya Beliau Fathul Mubiin dimana kali ini Ibnu Hajar menjelaskan siapa orang yang zuhud. Bila Imam Nawawi menjelaskan apa yang ditinggalkan, Ibnu Hajar melengkapi dengan menjelaskan apa yang diambil dari dunia:

فالزاهد: المستصغر لمحتقر للدنيا, فلا يفرح بسيئٍ منها, ولا يحزن علي فقده, ولا يأخذ منها إلا ما يعينه علي طاعةريه, أو ما أمر بأخذه. مع دوام الذكر والمراقبة والنفكر في الاخرة.

Orang yang zuhud adalah orang yang mengecilkan dan menghinakan dunia, sehingga ia tidak gembira dan bangga dengan dunia juga tidak sedih dengan kehilangannya. Ia tidak mengambil dari dunia kecuali hal-hal yang menolongkan untuk ketaatan pada rabbnya. Dengan tetap mengingat, merasa dekat, dan memikirkan akhirat.

Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan sikap mental orang-orang zuhud terhadap dunia dimana dunia tidak membuat mereka bangga ketika memilikinya dan tidak merasa sedih ketika kehilangannya.

Tentang apa yang diambil dari dunia, Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan bahwa apa yang diambil oleh orang-orang zuhud dari dunia adalah hal-hal yang menolongnya dalam ketaatan pada rabbnya atau memang sesuatu yang diperintahkan. Maka terkait penjelasan Imam Nawawi, semua hal yang tidak masuk dalam kriteria yang disebutkan Ibnu Hajar al-Haitami…inilah yang dimaksud oleh Imam Nawawi sebagai apa yang tidak ia perlukan.

Lebih lengkap, tentang apa yang ditinggalkan Ibnu Hajar al-Haitami menuliskan ttg orang-orang zuhud:

وَ تَرْكُ مَا لَا قٌرْبَتَ فِبْهِ

…dan meninggalkan hal-hal bernilai taqarrub (mendekatkan diri pada Allah)

Maka mereka, orang-orang yang zuhud, adalah orang yang memilih hanya yang baik saja dari dunia ini dan meninggalkan yang tidak menolongnya dalam ketaatan.

Ibnu Hajar juga memberikan contoh berikut

أو راحة ندب فعلها كنوم القيلولة, للعستعانة به علي قيام الليل

…atau istirahat yang memang diajarkan seperti tidur siang untuk membantunya melaksanakan qiyamulail/tahajjud.

Dari penjelasan-penjelasan dan contoh diatas, bahkan kita bisa coba menjawab pertanyaan berikut:

‘Apakah telah keluar dari zuhud (sehingga sy kehilangan sebab dicintai Allah) ketika saya memiliki harta yang banyak atau kekuasaan atau hal lain dari dunia?’

insyaAllah jawabnya TIDAK. Seseorang bisa tetap mendapatkan dunia bahkan lebih dari kebanyakan orang, selama semua itu dalam perspektif karunia Allah yang ia gunakan untuk menolongnya dalam ibadah. Dan seperti kita ketahui, konsep ibadah dalam Islam sangatlah umum.

Lebih jauh, bila dalam contoh diatas Ibnu Hajar al-Haitami mencontohkan disunnahkannya tidur siang untuk membantu mengamalkan sebuah ibadah yaitu sholat malam. Maka untuk ibadah lainnya misalnya ingin mendirikan panti asuhan yang mengasuh, mendidik, dan membina anak-anak yatim tidak mengapa (bahkan baik) kita mengumpulkan harta untuk bisa mencapai hal tersebut.

Namun hal diatas tentu perlu dengan warning bahwa dunia itu sangat bisa memperdaya kita, kenikmatan dunia bisa memalingkan dari tujuan utama yang mulia menjadi tujuan yang hanya berujung pada dunia.

Untuk itu, Imam Nawawi menukil perkataan Imam Syafi’i berikut tentang dunia yang kita dapatkan

إذا فرح بها لأجل المباهاة والتفاخر والتطاول علي الناس فهو مذموم, ومن فرح بها لكونه من فضل الله عليه فهو محمود

Jika ia senang dan bangga dengan dunia semata karena bermegah-megahan, dan sombong terhadap manusia maka hal itu tercela. (Namun) siapa yang gembira dan bangga dengan dunia karena hal itu merupakan fadhilah/karunia dari Allah ta’ala maka hal itu terpuji

Semoga Allah ta’ala memberi kita taufiq dan hidayah untuk bisa menjadi orang-orang yang zuhud di dunia…

Alhamdulillah wassholaatu wassalaam ‘ala rasuulillah.


Makna zuhud dari hadits #31 diatas menjadi tema utama Kajian Jum’at Malam Pekan #34, 3 September 2021 berikut:


Leave a comment

Categories