Posted by: tsdipura | September 1, 2021

Lesson learn istilah fardhu dan wajib

Ibnu Hajar al-Haitami (909-974H) ketika membahas hadits al-arba’in an-Nawawi ke-30 berikut

إنَّ اللهَ تَعَالى فَرَضَ فَرَائِضَ فَلاَ تُضَيِّعُوهَا، وَحَدَّ حُدُودًا فَلاَ تَعْتَدُوهَا، وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ فَلاَ تَنْتَهِكُوهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلاَ تَبْحَثُوا عَنْها

“Sesungguhnya Allah telah menetapkan kewajiban-kewajiban maka jangan disia-siakan. Allah telah meletakkan Batasan-batasan maka jangan diterjang. Allah telah mengharamkan beberapa hal maka jangan sampai dilanggar. Allah juga diam dalam beberapa hal, karena sayang kepada kalian bukan karena lupa, maka jangan sampai kalian mencari-carinya.” [Hadits hasan shohih diriwayatkan oleh ad-Daruquthni (dari sahabat Abu Tsa’labah al-Khusyaniy Jurtsum bin Nasyir radhiyallahu) dan selainnya]

khususnya ketika membahas bagian فَرَضَ فَرَائِضَ yang diatas kita terjemahkan ‘menetapkan kewajiban-kewajiban’ mengatakan hal berikut

وَقَدْ يُسْتَنْبَطُ مِنْهُ الدَّلَالَةُ بِمَذْهَبِنَا: أَنَّ الْفَرْضَ وَالْوَاجِبِ مُتَرَادِفَانِ, لِأَنَّ النَّهْيَ التَّضْيِيْعِ لَا يَخْتَصُّ بِالْفَرْضِ عِنْدَ غَيْرِنَا, وَهُوَ مَا ثَبَتَ بِدَلِيْلٍ قَطْعِيٍّ, بَلْ يَعُمُّ الْوَاجِبِ عِنْدَهُ أَيْضًا, وَهُوَ مَا ثَبَتَ بِدَلِيْلٍ ظَنِّيٍّ. فَتَفْرِيْعُ فَلَا تُضَيِّعُوْهَا عَلَي مَا قَبْلَهُ ظَاهِرٌ فِي شُمُوْلِهِ لِلْقِسْمَيْنِ

(Para ulama) telah mengambil dalil pada dari kalimat diatas (فَرَضَ فَرَائِضَ) pada madzhab kami bahwa fardhu dan wajib adalah sama. Hal ini dikarenakan larangan menyia-nyiakan, (bahkan) dikalangan selain kita tidak khusus pada perkara yang fardlu -yaitu perkara yang ditetapkan berdasarkan dalil qath’i- namun juga mencakup juga perkara yang wajib – yaitu perkara yang ditetapkan berdasarkan dalil zhanniy-. Maka perintah ‘jangan menyia-nyiakan’ terhadap hal yang disebutkan sebelumnya adalah jelas menunjukkan bahwa hal itu mencakup kedua jenis itu (fardlu dan wajib).

Bahasan ushul fiqh ini tidak sempat dibahas dalam kajian hadits al-arba’in ke-30 jum’at malam lalu karena sempitnya waktu untuk membahas tema ini. Untuk mencoba memahami perkataan Ibnu Hajar al-Haitami diatas juga latar belakang bahasan para ulama tentang hal ini kita coba melalui beberapa point berikut:

  • Perkataan ‘madzhab kami’ juga ‘selain kita’ yang disebut Ibnu Hajar al-Haitami merujuk kepada madzhab fiqh Syafi’i dimana Ibnu Hajar adalah salah satu ulama besar dalam madzhab ini, dan madzhab fiqh Hanafi. Dan Ibnu Hajar coba menyampaikan ikhtilaf dalam masalah ini antara dua madzhab ini.
  • Namun perkataan diatas dapat pula dimaksudkan madzhab atau metoda dalam ushul fiqh. Dimana secara umum terdapat metoda mutakallim dan metoda fuqaha. Metoda mutakallim digunakan oleh para ulama dari madzhab fiqh Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Sedangkan metoda fuqaha memang menjadi ciri khas ulama dari madzhab fiqh Hanafi.
  • Secara singkat, metoda fuqaha bersifat induktif dimana kaidah-kaidah ushul fiqh dibangun dari kasus-kasus pengambilan hukum fiqih. Secara histori, Imam Abu Hanifah memang tidak menulis kaidah-kaidah ushul fiqh secara khusus, sehingga ketika tuntutan zaman dan kondisi menuntut dituliskannya hal ini, para ulama madzhab Hanafi membangun ushul fiqh mereka dari simpulan-simpulan fiqh yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah. Hal ini mungkin menggambarkan mengapa disebut metoda fuqaha.
  • Sedangkan metoda mutakallim bersifat deduktif dimana kaidah-kaidah ushul fiqh dibangun diawal (tentunya dibangun diatas pemahaman terhadap syari’at Islam). Secara histori, Imam Syafi’i menuliskan kaidah-kaidah umum ini – dalam karyanya ar-risaalah- yang kemudian dikenal menjadi cabang ilmu islam tersendiri yaitu ushul fiqh.
  • Sebagaimana cabang ilmu islam lainnya ushul fiqh juga lahir dan berkembang karena tuntutan kondisi. Sebagaimana juga ilmu nahqu dan shorof, diawal-awal ilmu ini tidak diperlukan karena ketika Rasuulullah shallallahu’alaihi wasallam menyampaikan al-qur’an maupun sunnah nya para sahabat sudah memahami yang disampaikan itu dengan pemahaman bahasa arab yang benar. Namun ketika Islam menyebar ke berbagai negeri, ilmu ini perlu dituliskan dan akhirnya berkembang menjadi sebuah ilmu tersendiri. Begitupun ilmu ushul fiqh.
  • Nah, contoh perbedaan yang disinggung Ibnu Hajar al-Haitami dalam hadits diatas adalah tentang definisi fardlu dan wajib. Dimana Ibnu Hajar yang menggunakan metoda mutakallim dan memang bermadzhab fiqh Syafi’i memahami bahwa fardlu dan wajib itu sama. Sedangkan madzhab Hanafi dengan ushul fiqh metoda fuqaha membedakan kedua itu. Sebagaimana disebut Ibnu Hajar, fardlu menurut Hanafi adalah perkara yang harus dikerjakan yang ditetapkan dengan dalil qath’i ( مَا ثَبَتَ بِدَلِيْلٍ قَطْعِيٍّ ). Dalil qath’i yang dimaksud adalah al-Qur’an dan hadits yang mutawatir. Sementara wajib adalah perkara yang harus dikerjakan yang diteatpkan dengan dalil zhanni ( وَهُوَ مَا ثَبَتَ بِدَلِيْلٍ ظَنِّيٍّ ). Dalil zhanni misalnya hadits yang tidak sampe derajat mutawatir.
  • Imam al-Baghawi [436-516H] dalam karyanya Minhaajul Wushul ilaa ‘Ilmil Ushuul (منهاج الوصول إلي علم الأصول) menuliskan tentang definisi wajib

الّذِي يُذَمُّ شَرْعًا تَارِكَهُ قَصْدًا مُطْلَقًا, وَيُرَادِفُهُ الْفَرْضُ.

.وَقَالَتِ الْحَنَفِيَّةُ: الْفَرْضُ مَا ثَبَتَ بْفَطْعِيٍّ, وَالْوَاجِبُ بِظَنِّيٍّ

(wajib) adalah perkara yang perkara dimana orang-orang yang meniggalkannya secara sengaja tercela secara syari’at. Hukumnya sama dengan fardlu.

Hanafiyah berkata: ‘Fardlu adalah perkara yang ditetapkan oleh (dali) qath’i, dan wajib perkara yang ditetapkan oleh dalil zhanni.

  • Prof. Musthofa Diib al-Bugha dalam syarah terhadap karya al-Baghowi (yg dinamai oleh Prof. Diib al-Bugha النَّقْعُ الْمَأْمُوْلُ فِي خِدْمَةِ مِنْهَاجِ الْأُصُوْلِ)diatas menambahkan contoh pemahaman Hanafi ini yaitu terkait bacaan qur’an dalam sholat. Menurut Hanafi, membaca qur’an apapun dalam sholat (yaitu ketika berdiri) hukumnya fardlu karena berdasar pada ayat al-qur’an “فَاقْرَءُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْانِ” ‘bacalah apa yang mudah bagimu dari al-Qur’an’ [QS al-Muzammil ayat 20]. Sedangkan secara khusus membaca al-fatihah hukumnya wajib karena hal ini ditetapkan berdasarkan dalil zhanni yaitu hadits ‘لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ ‘ ‘tidak sah sholat orang yang tidak membaca pembuka al-qur’an (al-fatihah)'[HR Bukhari dan Muslim]
  • Mewakili ulama yang meyakini bahwa fardlu dan wajib itu sama. Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan bahwa bahkan dalam madzhab Hanafi layangan untuk menyia-nyiakan sesuatu itu berlaku untuk fardlu dan wajib juga. Sehingga Ibnu Hajar berargumentasi bahwa yang lebih tepat memang menyamakan kedua istilah ini.

Kita sebagai muslim Indonesia yang umumnya bermadzhab Syafi’i memang terbiasa dengan faham ini bahwa fardlu dan wajib adalah sama.

Namun minimal wawasan tentang hal ini bisa bermanfaat untuk menyadari begitu luasnya khasanah ilmu islam, memantik semangat untuk mempelajari berbagai khasanah ilmu islam, dan untuk tidak bersegera dalam menilai suatu pernyataan yang berbeda dengan pengetahuan kita saat ini. Bisa jadi yang berbeda adalah hanya maksud dari istilah yang digunakan dalam pernyataan tersebut.

wallahu’alam.


Leave a comment

Categories