Posted by: tsdipura | August 29, 2021

Banyak tanya, sebab kehancuran atau kemajuan?

Bersikap kritis biasanya dicirikan dengan banyak nanya. Banyak yang percaya bahwa sikap ini, yang kerennya disebut critical thinking, adalah sikap yang baik untuk bisa berkembang.

Disisi lain, sebagaian kaum muslimin mengira bahwa sikap ini tidak baik bahkan menjadi sebab kehancuran berdasar pemahaman sekilas dari hadits terkait hal ini. Misalnya hadits berikutyang oleh Imam Nawawi ditempatkan sebagai hadits no.9 dalam karyanya al-arba’in:

عَن أبي هُريرةَ عَبدِ الرَّحمنِ بنِ صَخْرٍ رَضِي اللهُ عَنْهُ قالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يقولُ: {مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ واخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ} رواه البخاريُّ ومسلمٌ.

Dari Abu Hurairah Abdirrahman bin Shokhrin radhiyallahu’anhu,ia berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda: “Apa saja yang saya larang maka jauhilah, dan apa saya perintahkan laksanakanlah semampu kalian. Sesungguhnya kehancuran umat sebelum kalian adalah karena banyak pertanyaan dan menselisihi nabi mereka”. [Diriwayatkan oleh Imam  Bukhari dan  Muslim].

Ya, dalam hadits diatas memang secara harfiah disebutkan bahwa ‘banyak pertanyaan’ adalah salah satu sebab kehancuran.

Apa benar hadits ini kita fahami bahwa ‘banyak bertanya’ adalh sebab kehancuran? Singkatnya TIDAK. Artinya tidak bisa berlaku umum begitu. Bahkan pada beberapa tempat Islam mengajarkan untuk kritis dan banyak bertanya dan ini bisa menjadi sebab kebaikan atau kemajuan. Namun memang ada hal-hal yang kita harus menjaga diri dari banyak bertanya karena bisa mengarah pada kemudharatan.

Mari kita simak detail penjelasan Imam Nawawi, sang penyusun kumpulan buku hadits ini sendiri…seorang Imam besar yang karya-karyanya banyak bermanfaat bagi ummat berikut

Dalam menjelaskan hadits diatas Imam Nawawi mendetailkan dengan berkata: ” Ketahuilah bahwa ‘bertanya ‘ itu ada beberapa macam (اعْلَمْ اَنَّ السُّؤَالَ عَلََى أَقْسَامٍ):

Jenis Pertama:

(سُؤَالُ الْجَاهِلِ عَنْ فَرَائِضَ الدِّيْنِ كَالْوُضُوْءِ وَالصَّلَاةِ وَالصَّوْمِ، وَعَنْ أَحْكَامِ الْمُعَامَلَةِ وَنَحْوِ ذَلِكَ.)

(وَهَذَا السُّؤَالُ وَاجِبٌ وَعَلَيْهِ حُمِلَ قَوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ)) وَمُسْلِمَةٍ، وَلَا يَسَعَ الْإِنْسَان السُّكُوْت عَنْ ذَلِكَ)

قال تعالى: {فَاسْأَلُوْا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ} [النحل:43]،

وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضي الله عنهما: إِنِّي أُعْطِيْتُ لِسَاناً سُؤَولاً وَقَلْباً عُقُوْلاً، كَذَلِكَ أَخْبَرَ عَنْ نَفْسِهِ رضي الله تعالى عنه.

Pertanyaan orang yang tidak tahu terhadap kewajiban-kewajiban agamanya seperti wudhu, sholat, shaum, juga hukum-hukum mu’amalah atau yang serupa itu.

Jenis pertama ini hukumnya wajib sebagaimana diperintahkan dalam perkatan Rasuulullah shallallahu’alaihi wasallam “Menuntut ilmu adalah wajib bagi semua muslim”

Allah ta’ala juga berfirman:

“Bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kalian tidak mengetahui”. [QS an-Nahl ayat 43].

Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma mengabarkan tentang kondisi dirinya dengan berkat: “Saya memiliki lisan yang selalu bertanya dan hati yang berfikir.”

Jenis Kedua:

السؤال عن التفقه في الدين سبحانه وتعالى: {فلولا نفرَ مِنْ كُلَّ فرقةٍ منهم طائفة، ليتفقهوا في الدين ولِينذِروا قومَهُمْ إذا رَجَعوا إليهم لعلهم يَحذَرون} [التوبة:122]

وقال صلى الله عليه وسلم: ((ألا فليعلم الشاهد منكم الغائب))

Pertanyaan dalam rangka memahami lebih mendalam agama Allah subhanahuwata’ala, sebagaimana firman Allah ta’ala:“… Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” [QS at-Taubah ayat 122]

Nabi Muhammad shalallahu’alaihiwasallam juga bersabda: “Ingatlah, hendaknya yang hadir mengajarkan kepada yang tidak hadir”.

Jenis Ketiga:

أَنْ يَسْأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُوْجِبْهُ اللهُ عَلَيْهِ، وَلَا عَلَى غَيْرِهِ، وَعَلَى هَذَا حُمِلَ الْحَدِيْثُ لِأَنَّهُ قَدْ يَكُوْنُ فِي السُّؤَالِ تَرْتِيْبُ مَشَقَّةٍ بِسَبَبِ تَكْلِيْفٍ يُحْصَلُ, وَلِهَذَا أَشَارَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءٍ رَحْمَةً لَكُمْ فَلَا تَسْأَلُوا عَنْهَا)).

وعَنْ عَلِي رضي الله عنه لَمَا نَزَلَتْ {وَللهِ عَلَى النَّاسِ حِجُ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلَا}. [آل عمران :97]

قال رجل: أَكُلَّ عَامٍ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ فَأَعْرَضَ عَنْهُ، حَتَّى أَعَادَ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثاً فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: “وَمَا يَؤْمَنُكَ أَنْ أَقُوْلَ نَعَمْ؟ وَاللهِ لَوْ قُلْتُ: نَعَمْ لَوَ جَبَتْ، وَلَوْ وَجَبَتْ لَمَا اسْتَطَعْتُمْ، فَاتْرُكُوْنِي مَا تَرَكْتُكُمْ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلَافُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإْذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ أَمْرٍ فَاجْتَنِبُوْهُ”

فَأَنْزَلَ اللّهُ تَعَالَى: {يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءٍ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُم} [المائدة:101]. أَيْ لَمْ آمِرُكُمْ بِالْعَمَلِ بِهَا

وَهَذَا النَّهْيُ خَاصٌ بِزَمَانِهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. أَمَّا بَعْدَ أَنِ اسْتَقَرَّتْ وَ أَمِنَ مِنَ الزِّيَادَةِ فِيْهَا زَالَ النَّهْيُ بِزَوَالِ سَبَبِهِ.

Ketiga, bertanya terhadap suatu hal yang tidak diwajibkan oleh Allah ta’ala kepadanya juga kepada selainnya. Pertanyaan jenis inilah yang dimaksud dalam hadits yang kita bahas ini. Pertanyaan ini dilarang karena terkadang akan memunculkan ‘pembebanan’ atau taklif yang menyulitkan. Oleh karena itu rasuulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda: “(Allah) diam terkait suatu hal sebagai rahmat bagi kalian maka jangan bertanya tentangnya”

Diriwayatkan dari ‘Ali radhiyallahu’anhu bahwa Ketika turun ayat”

mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. [QS Ali Imran ayat 97]

Seorang pria berkata: ‘apakah setiap tahun wahai Rasuulallah?’ Maka Rasuulullah berpaling darinya, hingga pria itu mengulang dua atau tiga kali, hingga Rasuulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda kepadanya: “Apa yang membuatmu aman jika aku menjawab ‘iya’. Hampir saja saya menjawab ‘Iya’, demi Allah seandainya aku jawan ‘Iya’ maka hal itu akan menjadi kewajiban, dan bila hal itu diwajibkan maka kalian tidak akan sanggup. Maka biarkanlah saya pada hal-hal yang saya berikan pada kalian, sesungguhnya kehancuran umat sebelum kalian adalah banyak bertanya dan menselisihi nabi mereka. Maka apabila saya memerintahkan suatu hal, kerjakanlah semampu kalian. Dan bila saya larang sesuatu maka tinggalkanlah.

Allah ta’ala juga berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu …” [QS al-Maidah ayat 101] Maksudnya, Allah tidak memerintahkan hal itu.

Dan larangan ini khusus pada masa hidupnya Rasuulullah shallallahu’alaihiwasallam, adapun setelah agama Islam telah sempurna dan tidak mungkin lagi ada penambahan maka hilanglah larangan ini karena telah hilang sebab pelarangannya.

Dari uraian Imam Nawawi diatas maka jelas bahwa Islam secara umum malah mendorong untuk banyak bertanya sebagai jalan untuk mendapatkan ilmu dan berujung pada kemanfaatan dan kemajuan.

Namun khusus pada masalah-masalah tertentu terkait agama kita perlu berhati-hati dan menahan diri untuk banyak bertanya, bahkan hati-hati jangan sampai syaithon menyusup dan mengarahkan kita pada pertanyaan-pertanyaan yang malah bisa berujung pada kemudharatan bahkan kekufuran. Misalnya hadits berikut yang dinukil oleh Ibnu Hajra al-Haitami ketika menjelaskan hadits al-Arba’in diatas:

يَأْتِيْ الشَّيْطَانُ أَحَدَكُمْ فَيَقُوْلُ: مَنْ خَلَقَ كَذَا؟ مَنْ خَلَقَ كَذَا؟ حَتَّي يَقُوْلُ: مَنْ خَلَقَ رَبَّكَ؟ فَإْذَا بَلَغَهُ… فَلْيَسْتَعِذْ بِاللهِ وَلْيَنْتَهِ.

“Syaithon akan mendatangi kalian dan berkata, siapa yang menciptakan ini? siapa yang ciptakan ini? hingga akhirnya berkata, siapa yang ciptakan Tuhan kalian?. Maka seperti itu, maka berlindunglah kepada Allah (dengan isti’adzah) dan berhenti.” [HR. Bukhari dan Muslim]

Dengan sifat kritis dan mempertanyakan serta mencari kemungkinan yang lebih baik Ummat ini telah mendapatkan banyak kegemilangan, bahkan sejak perang Badr, posisi kemah kaum Muslimin yang strategis lahir dari keberanian sahabat bertanya tentang opsi posisi lain selain yang ditetapkan Rasuulullah yang memang tidak bersifat ‘taufiqiyah’, juga melahirkan legacy Jabir ibn Hayyan yang menghabiskan waktunya mencari berbagai reaksi kimia yang bermanfaat sehingga menemukan teknik distilasi, teknik yang dengannya saat ini kita bisa menikmati berbagai produk turunan minyak bumi seperti bensin dan lainnya.

Untuk membangun kegemilangannya Ummat ini diantaranya perlu membangun sikap kritis bertanya dan mencari opsi atau solusi yang lebih baik dari yang sudah ada. Tidak diam dalam ketidaktahuan dan keterpurukannya. Tentu semuanya tetap melalui bimbingan Allah melalui para ulama dengan berbagai kepakaran mereka.


Penjelasan Imam Nawawi diatas juga penjelasan tambahan dari syarah oleh Ibnu Hajar al-Haitama dibahas dalam Kajian Hadits al-Arba’in an-Nawawi ke-30 berikut:


Leave a comment

Categories